TEPO SELIRO: AZAN DAN GANGGUAN PUBLIK

TEPO SELIRO: AZAN DAN GANGGUAN PUBLIK
Photo by Unsplash.com

Beberapa hari lalu saya berkunjung ke rumah teman.

Tanpa bermaksud berbasa-basi, saya memuji rumahnya yang lumayan bagus. Ada rumput yang terhampar rapi menghiasi beranda ruang tamu. Alhasil, ia mirip rumah dalam iklan perumahan yang selalu diberi kata ‘indah’, ‘permai’, ‘asri’, dan derivatnya.

“Aku mau pindah dan mencari rumah lain,” katanya singkat seakan menangkis pujianku.

Pada detik pertama saya menganggapnya bergurau. Tapi mataku tak menemukan tanda-tanda itu di parasnya.

Saat kutanya alasannya, jawabannya membuatku terkejut. “Aku akan mencari rumah yang jauh dari musalla,” katanya.

“Mengapa kau membeci musalla?” Atau… jangan-jangan kau sudah pindah agama?” cecarku penasaran.

“Oh tidak,” tepisnya.

“Lalu, apa alasanmu mencari rumah yang jauh dari musalla?”

“Keluargaku sangat tergangggu oleh suara bising yang terus-menerus mengumandang dari laud speaker masjid bersebelahan dengan rumahku. Kau tahu kan, anakku sampai sekarang masih dalam perawatan dokter karena penyakit bawaannya. Masjid hampir seperti Masjidil-Haram yang seakan tidak pernah membiarkan microphone beristirahat beberapa jam, mulai dari azan dengan suara kencang, dan sama sekali tidak merdu; kasidah-kasidah yang itu-itu juga; hingga pengajian-pengajian dengan suara lantang setiap malam hingga larut.

“Dulu aku membeli rumah ini karena ingin merasakan sejuknya aura spiritual yang memancar dari musalla di dekatnya. Sekarang aku malah ingin menjauhinya."

Saya cukup kaget tapi bisa memaklumi sikapnya.

Terlepas dari kontroversi seputar itu, penghormatan kepada keberagaman keberagamaan adalah syarat utama kehidupan yang damai.

Azan (ejaan KBBI) atau adzan (Arab: أذان) merupakan panggilan bagi umat Islam untuk memberitahu masuknya salat fardu.

Tak dipungkiri, suara fals atau nada buruk dan volume tinggi yang kadang melampaui batas waktu yang wajar yang bergema dari speaker masjid kadang cukup menganggu banyak orang, apalagi yang tak sekeyakinan.

Beberapa hari setelah itu saya menjadi turis dadakan di Denpasar dan menjadi tamu di rumah teman di lingkungan warga pengikut Hindu.

Dari perbincangan dengan teman saya yang telah bermukin di Denpasar lebih dari 20 tahun itu saya bisa merasakan dan "memaklumi" fenomena dominasi mayoritas di setiap daerah.

Agama apapun berdiri di atas banyak elemen. Salah satunya adalah ritus atau ritual atau upacara. Mungkin ritual dalam agama Hindu, terutama Hindu Bali, tergolong unik dan kompleks. Ritual berarti serangkaian aktivitas metafisik dengan peraturan dan tata cara tertentu. Di dalamnya ada mantra, doa-doa yang dilantunkan dengan bahasa khusus, nada khusus dalam waktu khusus dengan tujuan khusus. Salah satunya adalah trisandya.

Trisandya atau Puja Trisandya adalah mantram dalam agama Hindu khususnya bagi umat hindu di Bali dan umat Hindu di Indonesia pada umumnya. Mantram Trisandya dilaksanakan untuk persembahyangan 3 ( tiga) kali sehari yaitu pagi siang dan sore hari. Bait pertama dari trisandya adalah berasal dari Gayatri Mantram yang tertuang dari Veda.

Ada aroma kemenyan atau dupa khas peribatan Hindu yang mungkin mengusik hidung orang yang tak terbiasa, apalagi tak seagama. Aroma itu bagi sebagian orang non Hindu yang hidup di Bali tetaplah menyengat. Namun kesadaran posisi sebagai minoritas mengalahkan tajamnya aroma dupa itu.

Azan dan trisandya adalah ritual sakral dua agama yang berlainan. Keduanya harus dihormati. Tapi ia juga harus dilantuntkan dengan menghormati hak publik dan mempertimbangkan keragaman.

Tak suka suaranya yang fals, nadanya yang buruk dan volumenya yang tinggi? Tapi jangan hina azannya.

Siapapun anda dan apapun keyakinan anda, jangan menilai keyakinan orang lain dengan keyakinan sendiri dan selalu sadar posisi. Umat mayoritas harus rendah hati. Umat minoritas mesti tahu diri. Orang Jawa menyebutnya "tepo seliro"

Read more