“Terpilih, alhamdulillah. Tak terpilih, juga alhamdulillah”. Itulah rem canggih yang saya pasang sebelum menekan pegas gas untuk ikut dalam pencalegan. Bayangkan! Setelah berlama-lama merenung dan menimbang-nimbang, saya mengambil keputusan, yang menurut kitab suci perkampanyean, masuk dalam kategori “sangat terlambat”.
Dengan tetap memegang asas “berpolitik secara gratis” dan mengendarai sebuah kendaraan politik yang kurang populer, saya terjun bebas di dapil kota kelahiran. Hasilnya? Skor yang sempat dipantau cukup menggembirakan pada hari pertama dan kedua penghitungan, dan mungkin memusingkan bagi kompetitor yang sudah melakukan investasi milyaran dan dalam jangka waktu yang lama.
Namun pada hari ketiga dan seterusnya, skor itu seakan lenyap. Tanpa berpretensi menolak kekalahan secara legawa, perubahan drastis angka-angka hasil penghitungan yang semrawut itu menyisakan sejentik kecurigaan di hati teman-teman yang kebetulan bekerja sebagai petugas pemantau pemilu. Mereka pun bertekad untuk melakukan pengusutan dan menelisik ke ruang-ruang gelap sindikat para pegadang suara. Hingga kini mereka masih fight di situ.
Bagi saya, pileg sudah berakhir. Saya mesti kembali mendarat di bumi saya. Yang jelas, saya mendapatkan pengalaman baru dan berharga tentang dunia politik praktis yang semata-mata negatif, sebagaimana yang terkesan dalam benak saya sebelumnya.
Pelajaran penting yang bisa diambil ialah, bila kita mampu mengkomunikasikan pandangan secara gamblang dan jujur, maka sebagian besar masyarakat, terutama para tokohnya, bisa menerima. Terbukti, dalam waktu yang sangat singkat, saya yang berlatar belakang kultural non-Muhammadiyah, diterima dan didukung oleh pengurus, pemuda dan warga Muhammadiyah di dapilku. Mereka juga tidak mempermasalahkan kiprah dan corak pemikiran keagamaan saya. Ini adalah sebuah keajaiban. Terus terang, sebelumnya, saya bisa dianggap minder atau was-was akan menghadapi resistensi dari luar komunitas saya.
Bukan hanya itu. Tidak semua politisi dan caleg itu calon maling. Hampir semua caleg dari partai yang mengusung saya lebih rajin ibadah dari saya. Ada seorang pemuda pengusaha kaya di Jember yang menarik perhatian saya. Wajahnya yang tampan (karena full gizi) memancarkan aura kesantunan yang tulus. Dia kini adalah salah satu sahabat dekatku yang baru. Suatu saat ia bisa memberikan sumbangan yang berarti bagi bangsa ini, karena umurnya masih muda dan talentanya terus menguat.
Keajaiban lain adalah terjalinnya hubungan erat dan indah dengan sejumlah kyai dan sentra-sentra pesantren. Sebelumnya saya tergolong orang yang rada gimana gitu dengan yang satu ini, mungkin karena trauma atau kelebihan suudzhon. Ternyata sejumlah kyai terkemuka rela mempertaruhkan reputasinya (tentu sumber income-nya) dengan mendukung saya (yang datang dari partai bukan hijau) bahkan memperkenalkan saya sebagai gurunya.
Yang tak kalah mengharukan adalah dukungan moral dan modal semua teman, di seluruh Indonesia. Ada yang mengirimkan SMS dukungan doa, ada pula yang mengirimkan SMS yang menanyakan no rekening saya. Meski jumlahnya mungkin tidak seberapa, tapi nilainya tidak dapat ditakar. Para relawan yang bekerja all out juga rela tekor karena meninggalkan pekerjaan.
Selain itu, teman-teman sekomunitas yang mungkin berbeda dalam masalah-masalah elementer terkait kebijakan organisasi atau kesalahpahaman yang berimbas pada sikap personal, secara otomatis lenyap dan berbaris rapi memberikan dukungan secara aktif, dan bahkan menjadi relawan tim sosialisasi.
Semoga Allah Swt melimpahkan anugerah ridha dan rahmat atas Anda semua.
Jangan lupa doakan saya.