Banyak orang hanya mengkaitkan terorisme dengan politik global. Padahal dasar pembentuknya adalah falasi yang diagamakan berupa intoleransi atau penolakan terhadap apa yang dianggap musuh karena kafir, sesat, thoghut dan sejenisnya.
Banyak orang memfokuskan analisa terhadap terorisme pada organisasi atau kelompok tertentu. Padahal terorisme adalah ekspresi fisikal dari manipulasi makna dan tafsir terhadap sejumlah teks agama saat dijauhkan dari logika.
Banyak orang yang menganggap ketimpangan ekonomi sebagai penyebab terorisme dan radikalisme. Padahal faktanya banyak orang yang terjangkiti ekstremisme berasal dari kalangan terdidik yang sejahtera. Terorisme adalah buah matang dari pohon takfirisme alias intoleransi. Baca juga: Intoleransi makin diminati
Banyak orang yang mengkaitkan terorisme dan radikalisme dengan apa yang disebut “marginasi peran politik” kalangan Islam. Faktanya, memang nama Islam dan nama Umat Islam telah dimonopoli oleh kelompok tertentu dan dijadikan sebagai alat meraih dan mempertahankan kekuasaan.
Terorisme adalah akibat. Intoleransi adalah sebabnya. Mengabaikan sebab dan hanya fokus terhadap akibat adalah bagian dari kesuksesan pelaku teror.
Terorisme adalah aspek konkret. Intoleransi adalah aspek abstraknya. Mengabaikan aspek abstrak dan hanya fokus terhadap aspek konkret adalah bagian dari kesuksesan pelaku teror. Baca juga: “Agama Horor” dan “Mazhab Teror”
Terorisme adalah aktualitas. Intoleransi adalah potensinya. Mengabaikan potensi dan hanya fokus terhadap aktualitasnyabadalah bagian dari kesuksesan pelaku teror.
Intoleransi menyuplai semua alasan pembenar kekerasan.
Setelah dikafirkan dan dianggap musuh karena berbeda keyakinan, semua yang buruk terasa sah untuk ditimpakan. Itulah intoleransi.
Para manusia robotik yang sudah ditenggelamkan dalam doktrin intoleransi menjadikan kebencian sebagai simbol iman.
Hanya memperkuat identitas kelompok dan keyakinan tanpa proaktif menyebarkan toleransi, identitas keyakinan tak terlindungi