Saat tes darah anak saya menunjukkkan hasil yang melegakan karena thrombositnya naik ke angka 48.000, saya gembira sekaligus sedih.
Saya gembira karena anak yang lahir setelah penantian lama (7 tahun sejak perkawinan) itu telah melewati masa kritis. Namun saya juga sedih karena dua hal. Pertama, kakaknya, Hasan Mujtaba, anak angkat yang kucintai seperti anak kandung sendiri, demam tinggi. Kedua, dan ini yang lebih utama, di samping ranjang Basil di ICU, tergolek remaja berusia 18 tahun dengan alat bantu nafas. Di tubuhnya ada tujuh luka akibat sabetan parang, terutama lehernya yang koyak dan paru-parunya yang terluka. Dia adalah putra kuli bangunan yang bekerja sebagai penjaga Plyastation rental di kawasan Cipulir Jaksel.
Ayahnya yang sangat miskin tampak ‘bengong’ dan sedih karena, menurut penuturannya, dia sudah menjual semua yang bernilai di rumah kontrakannya, termasuk ranjang, dan lemari di rumahnya demi menutupi biaya operasi, meski, itu tidak akan mampu melunasi semua biaya perawatan anaknya, teutama pembelian beberapa kantong darah untuk golongan langka, AB plus.
Yang lebih menyedihkan, putranya adalah saksi sekaligus korban. Karena pita suaranya masih dalam ‘perbaikan’, aparat kepolisian tidak dapat meminta kesaksian dan keterangannya untuk mengejar pelaku sadis yang membacoknya demi beberapa player PS pada jam 4 pagi itu.
Selain ayahnya, tidak terlihat keluarga yang mengunjungi anak yang putus sekolah sejak kelas 2 SMA itu. “Wah, pada sibuk mencari nafkah buat keluarga masing-masing. Maklumlah, keadaan sekarang lagi sulit,” katanya berbaik sangka dalam logat Cirebonan yang masih kental.
Yang membuat saya greretan adalah tindakan perampok itu. Kalau memang mau mengambil uang dan mencuri player PS, mengapa mesti menyarangkan tujuh sabetan parang ke remaja yang miskin itu!!?
Di sekitar kita banyak yazid-yazid yang menuntut kepedulian kita untuk meniru secuil karakter al-Husain.