TETANGGA MASJID

Setiap subuh, sebelum matahari terbit, hidupnya dihantam oleh suara azan yang menggelegar dari speaker masjid. Getarannya mengoyak tidurnya, membuat jantung berdebar kencang. Meski sudah mencoba menutup jendela rapat-rapat dan menyumpal telinga dengan bantal, suara itu tetap menusuk seperti sirene. Hari-harinya dimulai dengan kelelahan kronis, karena jarang bisa tidur nyenyak setelah terbangun pukul 4 pagi.
Bahkan di luar waktu salat, pengumuman atau ceramah tiba-tiba mengaum tanpa peringatan. Dinding rumahnya bergetar, televisi dan percakapan keluarga tenggelam dalam gema. Anaknya yang balita sering menangis ketakutan saat suara tak dikenal tiba-tiba mengguncang kamarnya. Ia sendiri kerap merasa migrain menyerang, tapi tak bisa menghindar—ke mana pun lari di dalam rumah, suara itu tetap ada.
Ia menghafal jadwal salat bukan untuk ikut beribadah, tapi untuk mencari "jendela tenang" yang singkat di antara lima waktu azan. Acara kerja daring, rapat penting, atau sekadar menelepon orang tua selalu riskan: kapan saja suara itu bisa memotong percakapan, membuatnya harus malu-malu meminta "tolong diulang" ke rekan atau klien.
Ia ingin protes, tapi takut dianggap anti-agama meski penganutnya atau memicu konflik. Tetangga lain mungkin sudah terbiasa, atau pura-pura tidak terganggu demi menjaga harmoni. Jika ia bersuara, bisa dicap sebagai "penghina", diasingkan, atau malah disalahkan karena "tidak sabar". Diam-diam, ia menyimpan rasa bersalah: mengapa tidak bisa lebih toleran? Tapi batas toleransinya sudah lama terkikis oleh dering telinga yang tak kunjung reda.
Rumahnya—tempat yang seharusnya menjadi pelindung—kini terasa seperti sangkar tanpa keheningan. Ia tak bisa menikmati musik kesukaan, membaca buku, atau sekadar duduk di teras tanpa waspada. Bahkan di hari libur, ketika ia ingin beristirahat, suara ceramah Jumat yang berkepanjangan memaksa telinganya bekerja keras. Keputusasaan muncul: haruskah ia menjual rumah turun-temurun ini, meski tahu harga jualnya rendah karena lokasinya?
Orang-orang di luar mungkin berkata, "Biasakan saja, itu kan hanya beberapa menit." Tapi bagi mereka yang hidup di dekatnya, "beberapa menit" itu berulang lima kali sehari, tujuh hari seminggu, tanpa jeda. Kelelahan mentalnya tak terukur: ia terusir dari ketenangan, terpenjara di tanahnya sendiri, dengan derita yang dianggap sepele oleh orang lain.
*) Tulisan berikutnya "TETANGGA PESANTREN"