Hanya karena mengenakan busana panjang yang membalut seutuh tubuhnya dan kain berlapis yang meliliti lingkar atas batok kepalanya juga berbicara dengan bahasa Arab secara lancar didampingi penerjemah yang siap mengindonesiakan apapun yang meluncur dari liang mulutnya, tak berarti lebih pandai, lebih saleh dan lebih bijak dari yang duduk menyimak. Malah, boleh jadi dia tak pandai, tak saleh dan tak bijak.
Boleh jadi dia dianggap pandai karena posternya terpampang di mana-mana dan tenar.
Hanya karena berdiri dengan mimik dan gestur berwibawa bagai ulama dengan sorban, selendang di pundak dan jubah berkibar, padahal ceramah-ceramahnnya hanya memuat nasihat dan doa juga provokasi sektarian tak berarti layak dihormati bagai alim sejati.
Boleh jadi dia dijadikan pemimpin organisasi karena dianggap alim. Yang melantikya sebagai alim adalah orang-orang awam yang memujanya.
Tapi apa mau dikata? Umat yang polos adalah “karunia harta dan wibawa” bagi orang-orang culas, para pengamen agama.
Banyak jubah lebih saleh dari pemakainya.
Banyak seragam jabatan lebih jujur dari pejabatnya.
Banyak sorban lebih alim dari kepala yang dililitnya.
Banyak nasab lebih harum daripada pemajangnya.