Sebagai orang yang berhak mengaku ‘arema’ saya sangat menggemari tempe. Karena itu, berita langkanya tempe lebih menarik perhatian saya ketimbang berita pasang surut kesehatan Soeharto yang mulai ‘dimaafkan’ itu.
Setelah kehilangan hak paten tempe karena dicuri Amerika, kini negara yang dihuni oleh para peminat tempe ini dilanda ‘krisis tempe’ karena bahan bakunya adalah produk impor. Tragis negara agraris malah jadi pengimpor produk agraris dari negara industri…!
Saat ini harga kedelai impor berkisar Rp 5.500/kg. Naik dibandingkan harga sebelumnya yang rata-rata Rp 4.000 sampai Rp 4.200. Dia biasanya membeli kedelai sebanyak 3 kuintal seharga Rp 2,250 juta. Namun, dia tidak bisa memperkirakan berapa potong tempe dan tahu yang dihasilkan dari bahan baku sebanyak itu. Tempe berukuran sedang dijualnya seharga Rp 1.200-1.500/potong.
Penyebab utama krisis kedelai adalah ulah produsen kedelai di di Amerika Serikat (AS). Di negara maju itu kedelai dipakai dalam industri biodiesel. Jadi, alih-alih menjual kedelai ke luar negeri, pihak AS cenderung memenuhi kebutuhannya sendiri. Hukum pasar pun terjadi. Apabila berani membeli dengan harga mahal, kedelai dilepas. Memang, akhirnya terjadi ketidaksesuaian permintaan dan penawaran kedelai yang mempengaruhi lonjakan harga. Importir tiap hari menaikkan harga kedelai. Saat ini, menurutnya, harganya berkisar Rp 7.750-8.000.
Tapi tahukah kita bahwa semua produk kedelai impor asal Amerika Serikat merupakan kedelai transgenik yang berbahaya karena dapat mengakibatkan kanker dan sejumlah penyakit kronis lainnya?
Amerika mengabaikan dampak negatifnya karena sejak semula menolak menandatangani Convention of Bio Diversity atau Konvensi mengenai Keragaman Hayati.