“Musuh- musuh Iran sangat mengerti bahwa bangsa ini akan memberikan balasan komprehensif terhadap para agresor maupun kepentingan mereka di seluruh dunia. Politisi AS dan para analisnya tahu rakyat Iran tak akan tinggal diam bila diserang.” Pernyataan monumental Ali Khamenei ini bukan sekadar respon terhadap gertak ala Yunkees. Bahkan pernyataan dan fatwa ini lebih ‘berbahaya’ dari fatwa ‘mati’ Imam Khomeini atas Salman Rushdie. Benarkah?
Barat tidak cukup cerdas untuk memahami konsep Wilayat-e Faqih, bahwa berdasarkan konstitusi negara tersebut, Wali Faqih memiliki hak untuk ditaati secara keagamaan dan kenegaraan, termasuk oleh Ahmadinejad. Siapapun presidennya, Iran tetap akan melanjutkan proyek nuklir bukanlah semata-mata kebijakan lembaga eksekutif atau sekadar keputusan politis. Ahamdinejad laksana striker yang menerapkan strategi sang ‘pelatih’ di luar lapangan.
Pernyataan Khamenei tersebut menunjukkan bahwa tekad merampungkan proyek energi nuklir bukan hanya keputusan lembaga eksekutif dan bersumber dari sikap konservatif Ahmadinejad, tapi sebuah keputusan teologis yang akan memiliki implikasi global.
Ia di lahirkan pada 28 Shafar 1358 (1940), di sebuah rumah amat sederhana di kota kecil (kecamatan) Birjan, salah bagian dari kota Masyhad, ibukota propinisi Khorasan.
“Di rumah itu saya dilahirkan dan tinggal bersama mereka sampai berusia empat atau lima tahun. Luas rumah kami berkisar antara 60 sampai 70 m, terletak di pemukiman miskin di salah satu sudut kota Masyhad. Rumah itu hanya memiliki satu kamar dan satu ruang bawah tanah (sirdab) yang gelap dan pengap. Karena ayah saya adalah ulama dan konsultan agama, rumah kami selalu ramai tami. Kami pun terpaksa tidur di ruang bawah tanah sambil menunggu mereka pulang. Suatu saat, ayah s mampu membeli sepetak tanah kosong di samping rumah dan lalu membangunnya buat kami. Sejak itulah rumah kami memiliki tiga kamar,” kenangnya (Harian Jomhuri-e Islami, 20-5-1364 HS)
Kehidupan ekonomi ayahnya seperti ruhaniawan dan pengajar ilmu agama pada umumnya, sangat sederhana. Situasi rutin inilah yang menempa karakter istri yang tangguh. Qana’ah dan hidup prihatin telah menjadi faktor utama sikap soasial dan rendah hati putra-putranya, Muhammad, Ali dan Hadi.
“Ayah saya seorang ruhani (ulama) terpandang saat itu. Namun ia adalah tipe orang zuhud dan kurang suka publisitas popularitas. Kehidupan masa itu kami lalui dengan segala kesulitan. Pada suatu malam di rumah tidak ada sesuatu untuk dijadikan makan malam. Ibu kami bersusah payah untuk menyediakan makan malam buat kami. Syukurlah malam itu kami bisa makan roti dan beberapa butir kismis,” tuturnya seraya menerawang. (Harian Kaihan tertanggal 16-5-1364 HS).
Meski dibesarkan dalam keluarga miskin, Khamenei terdidik dengan baik dan mendapatkan nutrisi spiritual yang prima. Situasi ekonomi yang sulit itupun menempanya menjadi manusia dengan kepedulian sosial yang sangat tinggi.
Pada usia empat tahun, ia dan kakaknya, Muhammad, mulai mempelajari Al-quran. Selanjutnya mereka memulai pendidikan formal sekolah dasar (SD) hingga SMP di sekolah Ta’lim-e Diyanat.
Saat memasuki pendidikan formal menengah atas (SMU), ia mulai mempelajari Jâmi` al-Muqaddimat, senarai buku-buku standar gramatika Arab.
Setelah lulus, Khamenei muda memasuki seminari teologi Hawzah Ilmiyah di bawah bimbingan sejumlah dosen, termasuk ayahnya. Ia mempelajari kitab-kitab gramatika terkenal, seperti Alfiyah karya Ibnu Malik dan Mughni al-Labib karya Ibnu Hisyam. Berbekal latarbelakang wawasan pengetahuan agama dari ayahnya, Khamenei memasuki jejang pendidikan menengah hawzah. Ia mempelajari ilmu ushul fikih komprhensif dan menyelsaikan studi naskah sejumlah karya standar, seperti Ma’âlim, Syara’i al-Islam dan Syarh al-Lum’ah di bawah bimbingan langsung ayahnya dan Mirza Mudarris Yazdi. Ia juga mempelajari metodologi perbandingan fikih argumentatif dan menyelsaikan studi naskah Rasâ’il dan Makâsib di bawah bimbingan Syekh Hasyim Qazwini, dan ilmu logika serta filsafat, seperti al-Manzhûmah karya Sabzewari di bawah bimbingan Mirza Jawad Agha Tehrani, dan karya filsafat lainnya di bawah bimbingan Syekh Ridha Aisi. Ia berhasil melewati jenjang pertengahan (suthuh) dalam waktu kurang lebih lima setengah tahun dengan hasil yang menakjubkan.
Menginjak usia 17 tahun, Ali Khamenei telah memulai pendidikan tingkat atas (al-bahts al-kharij) di bidang fikih dan ushul di bawah bimbingan seorang marja’ besar, Ayatullah Uzhma Milani.
Pada tahun 1958, dengan maksud untuk menziarahi berbagai tempat suci di Irak, ia bertolak menuju kota suci Najaf (Irak). Di sana, ia mendapat kesempatan untuk mengikuti berbagai kuliah level atas (al-bahts al-kharij) yang diberikan para mujtahid besar di Hawzah Najaf, seperti Sayyid Muhsin Hakim, Sayyid Abul-Qasim Khu’i, Sayyid Mahmud Syahrudi, Mirza Baqir Zanjani, Sayyid Yahya Yazdi, dan Mirza Hasan Bujnuwardi.
Ia juga mengikuti pendidikan tingkat tinggi dalam bidang ilmu-ilmu rasional seperti filsafat, kalam, dan ushul fikih dan ilmu-ilmu skriptural seperti fikih dan tafsir sejak tahun 1953 hingga 1959 di kota suci Qum, di bawah bimbingan langsung tokoh-tokoh utama hawzah pada saat itu, seperti Ayatullah Burujerdi, Imam Khomeini, Syekh Murtadha Haeiri Yazdi dan Allamah Thabathaba’i.
Pada usia 25 tahun, karena harus merawat ayahnya yang sakit, ia meninggalkan kota suci Qum menuju Masyhad. Selama di sana, ia tidak meninggalkan pelajarannya, kecuali pada hari-hari libur. Ia mengikuti kuliah-kuliah fikih dan ushul fikih yang disampaikan -guru besar Hawzah di Masyhad, khususnya Ayatullah Milani.
Pada tahun 1963, Khamenei bertemu dengan Imam Khomeini dan berguru kepadanya. Di bulan Muharram pada tahun tahun itu, Imam Khomeini mengumumkan perlawanan politik terhadap rezim Syah Pahlevi.
Sejak deklarasi itu, Khamenei menjadi salah satu kadernya yang terpercaya. Imam Khomeini memerintahkannya menyampaikan pesan untuk Ayatullah Milani dan segenap ulama di propinsi Khurasan tentang perlunya memasukkan materi penyadaran politik Islam dan penentangan terhadap rezim Syah dalam ceramah para mubalig pada acara-acara peringatan Muharram. Misi ini dilaksanakan dengan baik.
Selanjutnya ia mendapat tugas melakukan tablig dan sosialisasi misi Revolusi di kota kelahirannya, Birjah. Pada hari ke-9 bulan Muharram (tahun 1964), ia ditahan oleh aparat keamanan Kerajaan. Setelah satu malam mendekam dalam sel, ia dibebaskan dengan syarat tidak diperbolehkan ceramah dan berada dalam pengawasan.
Setelah peristiwa berdarah 15 Khordad (di Qum), ia ditangkap kembali dan dibawa dari Birjan ke Masyhad lalu dijebloskan ke dalam sel tahanan militer setempat. Di situ ia merasakan berbagai penyiksaan dan teror fisik dan psikis.
Jiwa revolusionernya kian kuat, menjelang kemenangan Revolusi Islam. Sebelum kedatangan Imam Khomeini dari Paris ke Tehran, ia ikut serta dalam pendirian Syuray-e Enqelab-e Islami (Dewan Revolusi) atas perintah Imam Khomeini bersama Muthahhari, Beheshti, Rafsanjani, dan Musawi Ardabili. Setelah menerima pesan khusus Imam Khomeini yang disampaikan oleh Muthahhari itu, ia segera meninggalkan Masyhad menuju Tehran dan memulai kiprah politiknya.
Syah tumbang. Revolusi Islam menang. Khamenei dengan penuh semangat dan kegigihan tiada tara, aktif menghadiri seminar dan majelis taklim serta melakukan perekrutan terhadap kader-kader muda milisi revolusioner.
Karir perjuangan politiknya pun terus menanjak. Sepanjang tahun 1980 sejumlah jabatan penting pun menghampiri pundaknya. Pada tahun itu, ia bersama sejumlah elemen vital Revolusi Islam, seperti Muhammad Hosein Beheshti, Mohammad Javad Bahonar, Musawi Ardebili, dan Hashemi Rafsanjani, mendirikan Partai Republik Islam (Hezb-e Jomhuri-e Eslami).
Pada tahun yang sama, ia mulai dipercaya memegang sebuah jabatan struktural yang sangat penting, sebagai Pembina Komite Pengawal Revolusi (Pasdaran-e Enqelab-e Eslami), yang saat itu masih berupa milisi paramiliter pro Revolusi.
Di pertengahan tahun itu, Imam Khomenei memberinya jabatan keagamaan-politik yang sangat strategis sebagai imam dan khatib tetap di ibukota Tehran sejak pada tahun 1980.
Pada Maret 1980 terjadi gerakan kecil sparatisme di propinsi Sistan Balucistan, sebagai salah agenda Amerika untuk merongrong pemerintahan Republik Islam Iran yang baru berdiri. Lagi-lagi Khamenei mendapat misi khusus. Ia ditunjuk oleh Imam Khomeini sebagai utusannya dan Juru Runding. Misi ini berhasil melenyapkan sparatisme.
Menjelang akhir tahun itu, ia terpilih sebagai anggota legislatif mewakili Tehran di Majelis Perwakilan Iran (Majles-e Syura-ye Islami).
Pada tahun tahun 1981 ia dipercaya sebagai Utusan Wali Fakih (Imam Khomeini) dalam Dewan Tertinggi Pertahanan (Syura-ye Ali-ye Difa’). Namanya makin populer dan menjadi sumber pemberitaan karena pada masa perang melawan agresi rezim Saddam, lembaga ini merupakan penentu kebijakan dan strategi militer. Ia juga mendapatkan tugas non politik pada tahun itu, sebagai Ketua Dewan Revolusi Kebudayaan (Syura-ye Inqilab-e Farhangi) pada tahun 1981.
Mohammad Ali Rajai dan Mohammad Javad Bahonar, yang baru beberapa bulan terplilih sebagai Presiden dan Perdana Menteri, terbunuh secara tragis pada September 1981 akibat bom meledakkan kantornya. Pemilihan presiden pun dilaksnakan lagi. Ali Khamenei terplih dengan meraih suara lebih dari 16 juta suara dari total jumlah pemilih Iran pada saat itu. Sejak saat itu, Khamenei yang berduet dengan teman seperjuangannya, Rafsanjani, Ketua Parlemen, menjalankan pemerintahan yang benar-benar Molla, sejak Bazargan, Bani Sadr dan Ali Rajai.
Pada maasa-masa itu, sejumlah aksi teror kelompok kontra-Revolusi masih sering terjadi. Beberapa tokoh dan imam Jumat di sejumlah kota gugur. Ali Khamenei juga kerap menjadi sasaran usaha pembunuhan. Tangan kananya mengalami kelumpuhan permanen akibat serpihan bom yang meledak saat memberikan khotbah Jumat. Karena selalu selamat dari upaya-upaya pembunuhan, ia dijuluki dengan ‘si syahid hidup’ (asy-Syahid al-Hay, The Living Martir).
Namun pada periode kedua kepresidenannya, pada sejak tahun 1985 hingga 1989, Presiden Khamenei berhasil menumpas gerakan-gerakan kontra-Revolusi, termasuk membongkar konspriasi Partai Tudeh dan jaringan Mojahadin Khalq yang bekerjasama dengan rezim Baath Sadam. Ia berhasil menciptakan stabilitas keamanan dan politik.
Lelaki bewajah tampan dan murah senyum ini meninggalkan jabatan presiden yang tersisa beberapa bulan untuk memangku jabatan Pemimpin Tertinggi, pada 4 Juni 1989, atas rekomendasi Majles-e Khubregan (Dewan Pakar) menggantikan almarhum Imam Khomeini. (Majalah Syahid edisi 12; Khalifah al-Qa’id, hal. 34-51; Khaterat wa hikayatha, jilid 1 hal.27-30.)
Dunia tersentak. Umat Islam dan rakyat Iran berduka. Pada 4 Juni 1989 Ayatullah al-uzhma Imam Khomeini wafat. Lebih dari 10 orang di Tehran dalam pawai hitam yang paling kolosal sepanjang sejarah mengantar peti jenazahnya menuju kawasan makam Beheshti Zahra.
Amerika dan dunia Barat tentu sangat menantikan persitiwa ini sembari menganggapnya sebagai akhir dari Revolusi Islam Iran. Barat menganggap sistem pemerintahan Islam di Iran bisa bertahan karena faktor pribadi Imam Khomeini.
Prediksi itu mentah sama sekali. Khomeini tidak hanya menumbangkan monarki berusia lebih dari 1000 tahun, tapi juga telah mempersiapkan sebuah sistem suksesi yang mencengangkan. Beberapa jam kemudian, Dewan Ahli (yang terdiri dari sejumlah ulama pilihan langsung rakyat, yang bertugas memilih di antara mereka sendiri ulama yang paling layak untuk menjadi rahbar) mengadakan sidang luar biasa untuk menetapkan pengganti Imam menetapkannya sebagai Rahbar..
Meski semula kharismanya memang tidak sebesar kharisma Khomeini, pria dengan tinggi badan lebih dari 180 meter ini mampu mengemban tugas sebagai pemimpin tertinggi, dalam usia yang lebih muda dari rekan-rekan seperjuangannya, seperti Rafsanjani dan Mosawi Ardebeli.
Pada tahun 2000 silam, Mehdi Karrubi, Ketua Parlemen, menyerahkan map berisikan draft revisi undang-undang hak pengelolaan telivisi dan radio kepada Dewan Garda. Beberapa hari kemudian, Katua Dewan Garda, Ayatullah Jannati, mengumumkan hasil koreksi yang berujung pada penolakan. Parlemen, yang saat itu bersikeras untuk memberikan wewenang lebih kepada eksekutif, yang dipimpin oleh Khatami, menyatakan keberatan. Polemik pun makin seru. Draft tersebut diserahkan kepada Dewan pertimbangan (Penentu Kemaslahatan) sebagai lembaga yang berfungsi sebagai penengah. Ternyata, draft itu mengalami nasib yang sama. Rafsanjani, ketuanya, menyatakan menolaknya. Ketegangan antara kubu Khatami, yang disebut-sebut reformis, dan kubu Dewan Garda, yang disebut-sebut konservatif, makin sengit. Beberapa hari kemudian, Karrubi dalam sidang paripurna Parlemen membacakan surat instruksi Pemimpin Tertinggi Ayatulah Khamenei yang berisikan instruksi penghentikan diskusi seputar isu revisi undang-undang pengelolaan telivisi dan radio. Mayoritas anggota Parlemen menerima karena instruksi tersebut dikeluarkan oleh lembaga tertinggi negara. Tentu saja, kalangan pro Barat melukiskannya sebagai tindakan anti demokrasi. Persitiwa ini menunjukkan betapa wewenang seorang Rahbar dalam sistem Republik Islam Iran sangatlah besar.
Beberapa tahun setelah menjadi Rahbar, namanya masuk dalam daftar 7 nama ulama yang direkomendasikan oleh Asosiasi Gurubesar (Jameeh Modarresin) Hawzah sebagai marja’. Karena kerendahan hatinya dan penghormatannya kepada para marja’ yang masih ada, ia menolak untuk menerbitkan Risalah Amaliyah, yang memuat pandangan-pandangan ijtihadnya. Meski demikian, muqallidnya sangat banyak di seluruh dunia. Kini umat Muslim Syiah memiliki dua marja’ besar, yaitu Ali Khamenei di Iran dan Ali Sistani di Irak. Ajwibah al-Istifta’at, yang merupakan transkrip tanya jawab seputar fikih ibadah dan muamalat telah diterjemahkan ke lebih dari 10 bahasa besar, termasuk Indonesia. Ia pun masih aktif memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seputar hukum fikih yang dikirimkan ke situsnya, www.leader.ir.
Selain memberikan kuliah tingkat tinggi (Bahts kharij), lelaki yang menguasai bahasa Arab, Inggris, Urdu dan Turki ini masih aktif menulis karya-karya dalam berbagai bidang. (ADIL)