"Tidak Islami"
Di sebuah negara yang dihuni oleh banyak pecandu teologi teks dan holigan simbolisme, sedang terjadi aksi pelabelan "islami" dan "non islami" secara gila-gilaan dan masif menyasar segala hal, tak terkecuali kue klepon.
Orang-orang jumud menganggap sesuatu sebagai islami bila ada teks ayat dan hadis yang menganjurkannya sedangkan lainnya sebagai kafir, bid'ah dan thoghut. Orang-orang rasional menganggap segala sesuatu yang tak bertentangan dengan makna tegas teks ayat dan hadis sebagai islami.
Karena teks agama hanya memuat anjuran menyantuni anak yatim, kaum jumud tak menganggap menyantuni anak terlantar, anak jalanan dan anak korban kekerasan yang kadang nasibnya lebih buruk dari anak yatim sebagai ibadah dan perbuatan islami.
Karena tak menemukan teks yang menganjurkan pembacaaan zikir usai shalat, kaum jumud melarangnya dan menyebutnya sebagai bid'ah (berdosa).
Karena beranggapan bahwa baik adalah yang telah dianjurkan dan ditetapkan dalam teks ayat dan riwayat (hadis), kaum jumud menganggap perbuatan apapun yang tak ditetapkan di dalamnya sebagai perbuatan baik adalah buruk bahkan berdosa.
Kita bisa membayangkan difisit hukum dan nilai agama skriptual ini dan kesermawutan para pemeluknya yang sebagian berangan-angan seluruh penganut agama lain memeluknya.
Biang pelabelan ini adalah perkumpulan orang yang mengaku penguasa agama. Berkat label ini paguyuban ini telah berhasil menjadi industri dengan omset sangat besar. Hampir semua benda di-islami-kan, termasuk kulkas.
Tak hanya memproduksi label "halal" pada makanan dan pakaian, paguyuban para baron doktrin kejumudan ini memproduksi label "sesat", "menyimpang" dan sebagainya yang bisa dianggap sebagai restu atas persekusi, intimidasi dan teror.
Pamor corporasi agama ini makin luas dan posisi tawarnya makin kuat berkat dukungan kelompok-kelompok garis keras yang terus menekan Pemerintah melalui beragam aksi. Kini pemuka para tiran teologi itu menempati posisi politik prestisius yang memudahkannya membonsai negara dalam persepsi agama segintir orang intoleran. Tapi tak banyak yang berani mengkritik karena ia berasal dari unsur yang kerap teriak mengaku kelompok moderat.
Sampainya seorang agamawan ultra intoleran ke posisi politik yang sangat tinggi adalah bukti tak terbantahkan makin kuatnya politik identitas. Kadrunisme kini bukan hanya di medsos, meme dan aksi-aksi jalanan tapi dalam pusat pengambilan keputusan.