Turki terlihat aktif mengupayakan langkah-langkah diplomatik untuk menengahi pihak Palestina dan Israel. Tidak ada yang meragukan ambisi dan tendensi Turki.
Tidak memenuhi desakan keras warganya agar memutuskan hubungan dengan Israel, Turki malah berangan-angan mendamaikan Israel dan Palestina. Tendensinya adalah menambah daftar prestasinya di mata UE agar bisa diterima sebagai anggotanya.
Tendensi lain adalah keinginannya untuk menjadi pesaing Iran di kawasan karena Iran sudah diberi stigma negatif sebagai pendukung faksi-faksi perlawanan Palestina.
Namun, sampai sekarang usaha-usaha mediasi Erdogan, Perdana Menteri, belum membuahkan hasil. Salah satu alasannya adalah Turki tetap menganggap Mesir dengan Hosni Mobarak sebagai pihak yang penting dalam mediasi, padahal negara Firaun itu tidak lagi dipercaya oleh faksi-faksi perlawanan di Gaza.
Seiring bergulirnya daur waktu, Turki yang memiliki hubungan diplomatik dengan Israel mulai merasa tidak dihargai oleh para petinggi zionis. Serangan-serangan atas Gaza makin ganas termasuk gedung-gedung PBB dan sarana sosial dan pendidikan seraya menjadikan Hamas sebagai kambing hitam.
Belakangan Urdugan mengusulkan agar keanggotaan Israel dicabut dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) karena mengabaikan resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan diberlakukannya gencatan senjata di Gaza.
“Bagaimana mungkin sebuah negara yang tidak melaksanakan resolusi Dewan Keamanan PBB diperkenankan untuk menginjakkan kaki di markas PBB?” kritik Erdogan sebelum Sekjen PBB Ban Ki-moon tiba di Ankara untuk membahas konflik di Gaza.
Mestinya Turki melakukan sesuatu yang bisa dilakukannya, yaitu memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel, bukan menuntut sesuatu yang tidak bisa dilakukannya, mencabut keanggotaan Israel dari PBB.