Asyura’ bukanlah murni fenomena sejarah, namun sebuah budaya. Ia adalah sebuah fenomena sepanjang masa dan merupakan teladan bagi seluruh umat Islam. Ia adalah spektrum nilai yang utuh dan sempurna. Ada tiga dimensi dalam Revolusi Imam Husain as; yaitu dimensi rasional intelektual, dimensi spritual, dan dimensi emosional.
Dimensi Rasional
Dimensi akal dan logika nampak dengan jelas dalam pidato-pidato Imam sejak sebelum berangkat, saat di Madinah hingga detik-detik menjelang kesyahidan. Semuanya itu merupakan rangkaian pernyataan penuh cahaya dan berdiri di atas struktur logika yang rapi dan solid.
Inti dari logika beliau adalah deklarasi kebangkitan dan penegasan bahwa dalam situasi dan kondisi kondusif kaum Muslim wajib “bangkit” dengan mengabaikan bahaya kecil maupun besar yang menghadang. Meski akan menimbukan kerugian yang sangat besar, dalam situasi seperti dialami Imam Husain as, kebangkitan haruslah dilakaukan, dan dunia pun tidak berhak menghalanginya. Tidak semestinya status, materi, sarana kesehatan dan pertimbangan resiko keselamatan diri menjadi pengahalang. Umat Islam harus tetap bangkit. Bila tidak, maka mereka tidak akan pernah dianggap sebagai penegak rukun Imam dan Islam.
Nabi Saw bersabda, “Sesiapa yang melihat penguasa tiran menginjak-injak kehormatan dan wilayah Allah dan seraya tidak melakukan perubahan, baik dengan lisan, sikap maupun perbuatan, maka layaklah bagi Allah untuk memasukkannya dalam golongannya (tiran).”
Inilah logika yang digunakan Imam Husain as ketika pondasi agama dalam bahaya. Jika kita menghadapi situasi demikian, maka kewajiban untuk bangkit berada di atas pundak kita semua. Jika tidak, maka Allah akan menghimpun kita dalam golongan para tiran.
Dimensi Spiritual
Segala upaya yang muballigh lakukan haruslah bermuara pada upaya menjaga kemuliaan Islam, karena “Kemuliaan adalah milik Allah, Rasul dan kaum Mukmin.” Kaum Muslim kini berada dalam situasi demikian. Mereka harus menjaga dan melestarikan kehormatan dirinya dan kehormatan Islam. Meski mengalami penganiayaan paling bengis, paras para penguikut Imam Husain as memancarkan sinar benderang kehormatan dan martabat.
Saat meminta penundaan waktu perang, Imam Husain as melakukannya dengan bermatabat dan tidak memelas dengan kehinaan. Bahkan ketika berteriak meminta pertolongan, beliau lakukan dengan penuh wibawa dan martabat. Sikap dan sifat semacam ini haruslah tercermin dalam dimensi kehidupan setiap penerus jejak dan perjuangan Imam Husain as, dalam politik, dakwah dan lainnya.
Dimensi Emosional
Dimensi ini meliputi tiga periode; sebelum tragedi, saat tragedi dan pasca tragedi. Dimensi emosional sangatlah menentukan. Ia merupakan identitas dan ciri pembeda antara revolusi Asyura’, Syiah dan revolusi-revolusi lainnya. Asyura’ bukanlah fenomena yang kering, murni logika dan argumentasi, namun ia dirajut dengan kasih sayang, cinta dan air mata. Emosi adalah sebuah pusat pembangkit energi yang amat dahsyat.
Karena itu, kita dianjurkan untuk menangis dan membuat orang lain menangis dengan menarasikan kisah kesyahidan heroik al Husain.
Zainab Kubra as di Damaskus dan Kufah tidak meneriakkan slogan-slogan argumentatif dan “logis” namun ia membawakan narasi Asyura’. Imam Ali Sajjad as dengan penuh keteguhan dan kemuliaan diri menggelegarkan orasi revolusioner yang menimbulkan histeria sepanjang sejarah dari halaman istana Yazid di hadapan para petinggi Damaskus.
Dengan narasinya yang magnetik, ia berhasil menyengat ubun-ubun dan tulang sumsum mereka. Pembacaan narasi semacam itu terus berlanjut sampai hari ini dan harus terus berlanjut agar gelora ini merayap ke seluruh lapisan masyarakat.
Tugas Juru Dakwah
Sebagai muballigh yang melakukan aktifitas dakwah di bawah panji dan nama suci Al-Husain, kita semua memiliki kesempatan emas untuk menghidupkan dan menyebarkan ajaran agama dalam berbagai bidang. Masing-masing dari tiga unsur di atas haruslah memiliki porsi yang sama di dalam ceramah-ceramah dan kajian kita. Janganlah kita melupakan sisi emosional dengan meniggalkan penyebutan dan pembacaan kisah-kisah Karbala. Pada saat yang sama janganlah kita tenggelam dalam narasi dan air mata sehingga kita kehilangan kesempatan untuk membakar semangat dan menajamkan sisi logika dan akal kita.
Tema Dakwah
Apa maksud dari tabligh dan dakwah? Maksudnya adalah menyampaikan. Kemana harus sampai? Ke telinga? Tentu tidak, namun ke hati. Kita tidak melakukan tabligh dengan sekedar menyampaikan sesuatu untuk didengar telinga, namun agar apa yang kita sampaikan sampai pada tempat yang harus ditembusnya, yaitu hati dan jiwa para pendengar dan hadirin.
Apa yang harus kita sampaikan? Yang harus kita sampaikan adalah seluruh ajaran Islam yang merupakan nilai-nilai yang dijunjung tinggi dan diperjuangkan oleh Imam Husain as. Kita ingin menyampaikan nilai-nilai logika, agama, akhlak dan segala sesuatu yang dapat membangun kepribadian seorang manusia dan mengubahnya menjadi manusia dengan berkepribadian agamis.
Ceramah-ceramah para muballigh tidak boleh kosong dari tema politik, namun harus disampaikan secara proporsional dan tidak ekstrem. Jangan sampai semua ceramah dan kajian kita hanya membahas masalah Amerika dan Zionisme serta memberikan berbagai analisa seputar hal itu. Kalau pun kita tidak memiliki hal yang lebih wajib, maka minimal yang wajib dilakukan adalah melakukan perbaikan dan menghidupkan hati, jiwa dan pikiran para pendengar dan hadirin. Lenyapkan dahaga mereka.
Tentu hal ini membutuhkan sumber yang bersih pula, sumber bersih dalam diri kita. Karenanya, kita harus membekali diri dengan modal yang cukup dan bersih. Tanpa hal itu, janganlah mengharapkan orang lain dapat memanfaatkan siraman yang keluar dari hati kita. Modal dakwah itu haruslah dirajut dengan nalar dan logika. Para muballigh harus mempersenjatai diri dengan pemikiran dan logika yang kuat agar tema yang disampaikan bukanlah laksana benang basah yang tak dapat berdiri tegak. Benarlah pribahasa, “Senjata lawan yang paling ampuh adalah pembelaan yang rapuh dan lemah.”
Bila muballigh melakukan pembelaan yang lemah atas agama, maka dampak negatifnya jauh lebih besar daripada penyerangan atas agama yang kita bela.
Semoga hal itu tidak terjadi. Jangan sampai ceramah yang kita anggap sebagai aktifitas tabligh menjadi statemen-statemen lemah dan tak berdasar yang bertentangan dengan tujuan tabligh sendiri. Karenanya, logika adalah unsur yang sangat penting dan mendasar dalam aktifitas tabligh.
Ceramah haruslah diisi dengan kabar gembira (harapan) dan ancaman. Meski penekanan pada ancaman dan ketakutan harus lebih banyak, namun muballigh harus menumbuhkan harapan para hadirin.
Memperdengarkan ayat-ayat yang berisikan kabar gembira (harapan) –yang sebagiannya bukan untuk orang seperti kita- dan melupakan ayat-ayat ancaman adalah tindakan yang salah, karena ia akan mengakibatkan kita kenikmatan ruhan i-yang kita buat-buat dalam diri kita- yang pada akhirnya membuat kita lalai akan kewajiban dan hal-hal penting dalam ajaran agama.
Memang benar ayat-ayat yang berisikan kabar gembira (harapan) di dalam al-Quran adalah khusus kaum mukminin, namun ayat-ayat ancaman bersifat umum, baik untuk orang kafir atau mukmin. Oleh karena itu, ancaman dan pembangkitan perasaan takut haruslah lebih mendominasi ceramah kita. Jalan yang harus ditimpuh terjal dan berliku-liku. Karenanya, kita masing-masing harus mempersiapkan diri untuk menempuh jalan yang sulit ini sehingga dapat menggapai tujuan.
Sarana Dakwah
Poin selanjutnya adalah amal dan tindak-tanduk kita. Jika kita pergi ke satu kota atau desa untuk berdakwah, maka semua tingkah laku kita, duduk, berdiri, makan, tidur, pandangan kita, komunikasi dengan masyarakat, beribadah, keterikatan dan tidaknya diri kita pada kenikmatan materi, semuanya akan menjadi sarana pendukung keberhasilan dakwah atau sebaliknya.
Metode Dakwah
Unsur ketiga adalah metode dan cara penyampaian masalah dari atas mimbar dan podium. Meski kini telah tersedia ragam sarana informasi dan komunikasi, seperti internet, parabola, TV dan lain-lainya, ceramah dari atas mimbar memiliki posisi dan manfaat lain. Ceramah tidak tergantikan oleh sarana-sarana lain, karena sebab ceramah dari atas panggung adalah sebuah komunikasi dari hati ke hati yang memiliki dampak yang khas dan tidak didapatkan pada media lainnya. Karena itu pola dakwah dengan ceramah ini dilestarikan dengan peningkatan kualitas kemampuan dan keterampilan agar memberikan manfaat yang optimal.
Hasil Dakwah
Berdakwah adalah tugas agung, sensitif dan efektif. Hari ini kita dapat menyaksikan betapa hasil dan buah tabligh orang-orang sebelum kita. Besok atau lusa masyarakat akan menyaksikan buah dan hasil tabligh kita hari ini, insya Allah. Pencapaian hasil dakwah memerlukan proses panjang dan tidak instan laksana membalikkan telapak tangan, namun berproses dan panjang. Karena itu, selayaknya muballigh tidak hanya memperhatikan aspek lahiriah yang tidak agamis yang dapat mengakibatkan putus asa.
Sasaran Utama Dakwah
Propaganda dan isu bahwa generasi muda meninggalkan agama dan nilai-nilainya merupakan bagian strategi perang urat syaraf. Yang terjadi secara real adalah sebaliknya, hati para pemuda dan pemudi Muslim hatinya terpaut nilai-nilai agama dan haus akan kebenaran sesuai dengan fitrah sucinya yang alami. Fakta ini dapat diketahui oleh siapapun.
Alhamdulillah, di negara ini terdapat berbagai faktor pendukung atas hal itu. Karena itulah, kekosongan jiwa mereka haruslah kita isi, kehausan dan dahaga mereka haruslah kita puaskan dengan nilai-nilai agama. Dengan demikian, pasti kita akan menyaksikan hasilnya esok, dan masyarakat Islam pun akan memetik buahnya. Akhirnya kami berdoa dan memohon kepada Allah Swt memberi kita pemahaman yang sempurna akan nilai dakwah dan agama yang lurus ini, dan taufik-Nya sehingga kita dapat melaksanakan tugas yang berat ini, amin.[] Pesan Imam Ali Khamene’i untuk para muballigh Muharam 1427 H.
Diterjemahkan secara bebas oleh Abdullah Beik dan M. Labib.