Skip to main content

Ada beberapa tipe ‘habib’ di Indonesia; pertama, yang berdakwah secara tradisional. Biasanya tipe ini kurang memperhatikan politik. Yang penting, acara pengajiannya semarak, meski kadang memacetkan jalan dan ukuran spanduk-spanduknya berlebihan.

Kedua, yang memberikan kontribusi nyata dalam berbagai bidang, terutama dalam bidang agama dengan pendekatan yang santun dan bisa diterima oleh semua kalangan. Tidak sedikit di antara mereka yang dikenal sebagai pejuang dan pahlawan kemerdekaan. Habib tipe kedua ini umumnya tidak mencantumkan gelar ‘habib’. Prof. DR. Quraish Shihab mungkin bisa dijadikan contoh tipe kedua ini.

Ketiga, yang secara sengaja memasang gelar ‘habib’ di depan namanya lalu dengan semangat amar makruf dan nahi mungkar menggalang massa dan melakukan tindakan-tindakan yang sensitif sehingga menimbullkan kekhawatiran gangguan sosial dan politik.

Keempat, yang memilih hidup umumnya warga lain, egaliter, berwawasan modern malah cenderung antimainstream seperti mengidolakan Nietszche dan Marx, tidak menampilkan simbol-simbol, relijius standar seperti shalat wajib, anti ekstremisme mazhab, suka nongkrong di cafe, gemar nonton, pakai celana jeans dan sebagainya. Nah mungkin Acin Muhdor dan Ben Sohib adalah contohnya. Tipe ini bisa dianggap mayoritas generasi muda habib saat ini.

Tipe kelima adalah mereka yang masih memiliki jalur DNA habib, tapi dari sisi struktur fisik dan wajah sudah tidak mencitrakan karakter fisik timur tengah alias ras arab / parsi. Karakter fisik mereka sudah sangat kondisional tergantung daerah domisili saat ini sebagai efek dari pembauran lewat pernikahan leluhur mereka sebelumnya dengan penduduk lokal. Gus Dur dan Eros Jarot mungkin salah satu contohnya.

Eiiit! Jangan lupa! Banyak artis film, iklan dan lagu juga penyiar tv dari kalangan habib dan syarifah. Mereka mungkin tipe berikutnya. Mungkin ada tipe-tipe lain.