Toleransi adalah dasar keyakinan, pandangan, sikap dan prilaku sepanjang hidup.
Agar terwujud toleransi sejati, semua penafsiran bernuansa kebencian dan dendam sejarah terhadap teks perlu diganti dengan penafsiran-penafsiran etik.
Mengganti penafsiran sektarian dan provokatif dengan penafsiran rekonsiliatif tidak meniscayakan perubahan substansi yang terkandung dalam teks suci.
Pada akhirnya kita akan sadar bahwa keyakinan agama atau aliran yang kita anut tidak lepas dari saham keyakinan lain. Itulah matarantai peradaban.
Fanatisme dan intoleransi, menyumbat rasio untuk menyuling premis-premis setiap pandangan. Akibatnya, semua yang logis dianggap invalid dan sebaliknya.
Kadang seseorang tidak memahami sebuah pandangan dengan akalnya bukan karena tidak valid tapi karena ditolak hatinya yang tergadai sektarianisme.
Kadang seseorang menerima sebuah pernyataan yang nyata invalid hanya karena kekaguman kepada pelontarnya atau sekeyakinan dan sekelompok dengannya.
Tanda lemah nalar adalah mudah mengambil kesimpulan negatif karena sebuah info manipulatif tanpa komparasi, verifikasi dan klarifikasi.
Intoleransi tidak identik dengan masyarakat Timur dan satu agama. Dalam masyarakat Barat yang dianggap maju kadang intoleransi diekspresikan lebih brutal.
Intoleransi tidak identik dengan tingkat pendidikan, status sosial dan posisi ekonomi. Ia bisa menjangkiti siapapun yang tanpa sadar menuhankan diri.
Intoleransi tidak berkaitan niscaya dengan institusi keyakinan tapi akibat penumpukan falasi dan kehendak berkuasa.