TRAGEDI ASYURA DAN KEPATUHAN

TRAGEDI ASYURA DAN KEPATUHAN
Photo by Unsplash.com

Asyura dan Karbala serta Al-Husain dan semua yang berkaitan dengannya adalah harmoni dua dua aspek, yaitu aspek langit yang universal dan abadi karena nilai-nilai ketuhanan yang dikandungnya dan aspek bumi yang partikular dan historikal dalam konteks ruang dan waktu yang melingkupinya. Karena itu, ia menghidupkan yang mengenangnya dan dihidupkan oleh yang melanjutkannya.

Yang terpenting dari memperingati Asyura adalah memetik darinya makna kepatuhan dalam konteks keumatan dan kebangsaan. Tanpa itu, ia hanyalah rangkaian ritus unik, pengulangan orasi emosional, pembacaan narasi sejarah, pelantunan teks ratapan dan justifikasi terhadap eksklusivitas yang tak melangit juga tak membumi.

Kepatuhan dalam konteks keumatan adalah penerimaan konseptual dan aktual tanpa diskusi dan tebang pilih kepada ototitas vertikal.

Kepatuhan vertikal ini hanya bisa dihadirkan bila dipahami sebagai hierarki dan gradasinya yang terjuntai dari pemegang otoritas vertikal pada level paling rendah hingga tertinggi, yaitu Allah sebagai pemilik tunggal dan sejati otoritas.

Kepatuhan ini, meski pada level terendah dan rendah bersifat temporal dan terbatas, merupakan ejawantah tawalli yang paling dekat dengan individu mukallaf dalam melaksanakan tugas-tugas sakral sebagai umat.

Kepatuhan dalam konteks kebangsaan adalah penerimaan konseptual dan aktual tanpa diskusi kepada otoritas horisontal dalam garis gradualnya berdasarkan kontrak sosial yang merupakan fondasi bangsa sebagai entitas sosial yang terdiri atas ragam elemen suku, agama, daerah, etnik dan sebagainya.

Apa yang diperlihatkan oleh komunitas Syiah Lebanon yang terwadahi dalam institusi sosial Hezbollah merupakan aktualisasi kepatuhan vertikal sebagai umat kepada faqih pemegang otoritas vertikal, juga aktualisasi kepatuhan horisontal kepada konstitusi negaranya sebagai sebuah elemen penting bangsa yang membela kedaultan negara dan menjaga keamanannya dari agresi asing serta berkontribusi dalam pembangunan dalam segala sektor.

Setiap individu pelintas Jalan Kesucian di Tanah Air Indonesia seharusnya memegang teguh sebagai “harga mati” dua paradigma kepatuhan ini; kepatuhan lintas ruang dan waktu sebagai umat, dan kepatuhan dalam teriotori Tanah dan Air sebagai bagian integral dari sebuah bangsa dengan jatidiri yang khas dan komitmen kebangsaannya yang dijunjung tinggi.

Read more