TRAGEDI ASYURA DAN TOLERANSI

TRAGEDI ASYURA DAN TOLERANSI
Photo by Unsplash.com

Di sekitar rumah kita speaker masjid dan majelis taklim juga acara walimah kerap memperdengarkan pujian-pujian yang menyebut nama Al-Husain seperti “Ya Jaddal Husain” juga Al-Hasan dan sebagian dengan sebutan “Wabnahuma” dalam untaian shalawat “Shalallah ala Thaha” juga Li khomsatun dan seterusnya.

Meski akrab dengan telinga kita, nama-nama itu tak dikenali karena alasan-alasan sebagai berikut; Pertama, sebagian pujian2 berirama itu berbahasa Arab, apalagi kadang lafalnya tidak diucapkan secara tepat; Kedua, nama Al-Husain dan dan keluarga Nabi disebut dalam lagu dengan nada dan irama tertentu sehingga hanya muncul saat diuntaikan; Ketiga, sebagian pujian-pujian berirama itu tidak menyebut nama Al-Husain tapi menyebut “wabbahuma” (kedua putra mereka yaitu Ali dan Fatimah) atau gelar mereka seperti “kal kaukabain” (dua purnama yaitu Al-Hasan dan Al-Husain); Keempat, diambil alihnya banyak masjid oleh sekte Wahabisme dengan ragam nama samaran di pelbagai kota di Indonesia sebagai kota akibat nyata usaha intensif sentranya di Timur Tengah dalam menghapus tradisi pujian kepada Nabi dan keluarga, sebagian masyarakat modern dan yang termangsa oleh wahabisme mulai melupakannya.

Puluhan pujian-pujian bernada yang secara temurun dikumandangkan kini telah lenyap dan tak lagi diingat. Tidak sampai disitu.

Nama Ali, Hasan dan Husain sudah jarang diberikan untuk anak-anak yang lahir. Boleh jadi karena kini sebagian dari masyarakat lebih memilih nama-nama western atau “keren” meski tak bermakna. Boleh jadi pula, sebagian tak tertarik memberi anak nama-nama itu karena terpengaruh wahabisme atau takut dianggap Syiah, yang secara sosial diyakini merepotkan penyandang nama mulia itu.

Begitu tragisnya posisi Al-Husain, sampai-sampai setelah berlalu beberapa abad dari kesyahidannya, masih teraniaya. Namanya tak dikenal, apalagi ajarannya, apalagi kisah kesyahidannya, apalagi Karbala.

Wahabisme sebagai representasi Islam made by Umayah telah berhasil mengidentikkan Asyura dan Karbala dengan Syiah, setelah sukses mengidentikkannya dengan dongeng “menuhankan Ali” dan ratusan dusta sampah lainnya.

Meski demikian, kita perlu mengedepankan sangka baik dengan memberikan interpretasi dan analisa yang tidak menimbulkan ketegangan dan kebencian. Bukan setiap orang yang tak mengingat dan tak mengetahui peristiwa Asyura pasti tak mencintai dan tak ingin meneladani Al-Husain.

Yazid dan rezim-rezim biadab setelahnya telah bekerja keras memanipulasi sejarah dan mengaburkan fakta tragedi agung di Karbala dengan ragam modus bersampul teks abal-abal dan fiksi yang disebarkan secara masif. Sebagian besar umat adalah korban distorsi sejarah dan pengalihan opini dengan kedok doktrin agama.

Kita perlu menyebarkan pandangan dan sikap toleran dengan tidak menganggap semua yang tak mengenal Asyura sebagai pembenci. Asyura tidak hanya mengajarkan penolakan dan benci kepada kezaliman, namun juga menanamkan toleransi dan cinta.

Tak mudah menjadi yazidis. Untuk membenci Al-Husain dan meremehkan Asyura perlu hipokrisi maksimal dan kelegaman hati yang sempurna.

Pembenci Asyura -dengan kesadaran- hanyalah maha minoritas.

Read more