TRAGEDI NIKAH

TRAGEDI NIKAH
Photo by Unsplash.com

Alunan lagu dangdut dengan lirik sendu menyusup ke telinga saat sendirian termangu menerbangkan pikiran ke belakang menembus lorong waktu menayangkan album sejarah lawas...

Sesi musik dangdut telah bergeser ke kasidah lalu musik pop lokal dan musik hiphop juga latin. Sumber kebisingan itu adalah setumpuk speaker raksasa depan sebuah rumah yang sedang menjadi altar pesta pernikahan. Di situlah semua berpadu; gelak tawa, hidangan prasmanan dan kesibukan juru pakir yang mengatur lalu lintas yang macet akibat mengularnya mobil-mobil yang parkir di trotoar dan tenda yang mengambil sisi jalan.

[ads1]

Pernikahan. Ia adalah kata yang melukiskan, sebuah ritus paling umum sejak peradaban homo sapiens dibangun. Pernikahan atau perkawinan dan semua kata dalam bahasa apapun yang semakna adalah kebutuhan dasar yang dilembagakan dan diagamakan.

Meski diawali dengan kegembiraan, sebagian atau setengah dari semua acara perayaan peresmian dua pribadi berlainan fungsi itu akan berakhir dengan kesedihan, penyesalan bahkan kebencian.

Secara epistemologis, pernikahan adalah keputusan spekulatif yang tak selalu logis, malah sebagian dilakukan karena keterpaksaan dan tekanan pihak lain dengan ragam bentuknya. Senyum di paras pasangan yang terlihat necis dan ayu dengan riasan khas di atas singgasana pesta tak sangat mungkin semata tarikan bibir semata. Ada sekeranjang kemungkinan di baliknya. Trauma kekerasan, derita pengabaian, pengkhianatan menjadi alasan niscaya frustasi, depresi, deviasi, disorientasi dan ketimpangan. Janda-janda dengan beban anak-anak yang harus digendong, dirawat dan dipertahankan hidup di tengah belantara individualisme dan kapitalisme adalah prasasti keluguan memaknai cinta tanpa nalar.

[ads1]

Sebagai aksi natural yang digerakkan oleh insting reproduksi, perkawinan pada umumnya akan mengakibatkan regenerasi alias kelahiran. Sebagian atau sebagian besar ia adalah peristiwa yang tak direncanakan. Anak-anak itu lahir begitu saja, bukan dilahirkan. Mereka dianggap beban. Sebagian dibiarkan mati, dibuang atau dijual. Mereka warga tetap kolong fly over dan perempatan ibukota dan kota besar. Mereka tak lagi percaya ritus itu. Rumahtangga di mata mereka adalah tirani libido yang dibangun diatas dusta dan pura-pura. Mereka tak percaya apapun dan siapapun.

Pernikahan langgeng dan rumahtangga harmonis seakan cerita film. Ia hanya ada dalam fantasi dan liturgi agama.

Read more