Saya lahir dan tumbuh dalam lingkungan relijius, dan saya secara determinan mengikuti hampir semua jenjang pendidikan agama minus ilmu umum sejak dini.
Mestinya saya menikmati posisi istimewa yang diberikan kepada saya secara temurun, apalagi saya bisa dianggap mengerti agama. Tapi saya mengalami revolusi radikal setelah sadar bahwa agama tanpa hati yang bugar dan akal yang sehat adalah alat pembodohan bagi yang dianggap juragan (dengan beragam atribut suci dan sebutan megahnya) dan doktrin kebodohan bagi yang dianggap jelata, keranjang-keranjang aneka dongeng kesaktian, kekeramaran dan tipu-tipu lainnya.
Sadra, Imam Khomeini, Thabathabai, Muthahhari, Yazdi dan para bijakawan Islam Syiah membuat saya lahir kembali dengan Islam yang mesra dengan akal sehat. Nietzche, Sartre, Marx, dan para pemikir Barat melejitkan keberanian saya untuk mendelete sebagian data invalid tentang agama yang dahulu saya lestarikan dalam labirin diri saya.
Tragedi Sampang harus dilihat dari perspektif ini. Ia tak terselesaikan bukan karena Pemerintah abai, tapi karena beberapa pemegang “kuasa langit” di kota itu tidak menghendaki ada kelompok cerdas di tengah umat lugu yang mengkramatkan mereka.