Trend Remaja: Anime
Secara alamiah, umumnya anak kecil, remaja bahkan orang dewasa mendambakan seorang idola. Apa arti idola? Siapa idola? Sudah benarkah pengidolaan di tengah kehidupan yang serba modern ini?
Menggelikan. Ternyata telah terjadi kesalah-kaprahan di balik kata 'idola' yang digunakan secara jor-joran di tengah masyarakat. Asmanto Mostam, penulis "Indonesian Idiot", (sebagaimana dikutip oleh theonlykika.multiply.com), menjelaskan bahwa dalam kamus Bahasa Inggris-Indonesia (John M. Echols dan Hassan Shadily, Gramedia), kata 'idola' berarti 'berhala". Selain itu, kata 'idola', sebagaimana disebutkan Kamus Merriam-Webster's, memiliki banyak arti
-
Representative or symbol of an object of worship (perwujudan atau simbol dari sebuah objek peribadatan)
-
False God (Tuhan Palss): a) a Likeness of something (Sesuatu yang menyerupai); b) Pretender (Orang yang suka berpura-pura); c) Impostor (Penipu yang lihai)
-
A Form or appereance visible but without substance (bentuk atau penampilan yang terlihat namun tak bermateri)
-
5. an Enchanted phantom (momok, hantu, setan yang memesonakan)
-
Aan Object of Extreme devotion (Obyek yang sangat digemari)
-
Ideal (Idaman)
-
Afalse conception (konsep yang salah)
-
Fallacy (buah pikiran yang keliru)
Sayang, sebagian besar manusia yang dijadikan idola karena alasan yang sangat remeh. umumnya, seseorang diajdikan idola karena menjadi objek fantasi kekanakan, fantasi estetik (ragawi), bahkan kadang fantasi erotik. Tidak merasa cukup dengan ragam acara info-tainment, ibu-ibu rajin membeli majalah-majalah gosip artis dan para remaja menyerbu komik-komik buatan luar, bahkan menirunya.
Padahal idola sejati adalah yang bisa menjadi teladan kebaikan dan tuntunan, bukan tontonan. Terbukti, pengidolaan yang salah alamat (pemberhalaan) telah memakan banyak korban, terutama manusia yang didolakan. Satu demi satu idola palsu pun berguguran karena narsisme dan kepongahan, mulai dari kasus pembunuhan hingga narkoba.
Mengapa itu terjadi? Tidak lain adalah kapitalisme! Kini idola telah menjadi produk sebuah industri yang disajikan untuk dikonsumsi. Konsumennya adalah masyarakat, produsennya adalah pemilik uang, atau kekuasaan menjualnya melalui media. Media, seperti teve, koran, tabloid, dan majalah adalah bangunan pasar yang memertemukan minat konsumen dan kehendak produsen. Melalui media-media tersebut seorang Idola dijual sesuai potensi yang dimilikinya. Biasanya, produsen atau pemilik modal sekaligus merangkap sebagai pemilik bangunan pasar. Artinya pemilik uang juga sebagai pemilik media. Dalam kapasitas dan posisi semacam ini, ia mampu menguasai, mengelola, dan mendikte konsumen pemirsanya.
Faktor penunjang lainya adalah budaya 'latah' yang tumbuh lestari sebagai akibat dari penyakit inferiority complex. Trend pengidolaan pun senantiasa berubah seiring dengan menguatnya dominasi salah satu sentra kapitalisme yang menerjang batas-batas geografis atas nama 'pasar bebas' dan globalisasi.
Mari kita perhatikan. Sebelumnya generasi remaja Indonesia gandrung dengan tokoh-tokoh remaja Barat, seperti Tomy Page bersama grup musik NKOB, dan Jonny Deep dalam serial 21th jump street (Jonny Deep) atau para pemeran cewek dalam serial The Bold and The Beautiful. Perlahan-lahan trend pengidolaan di kalangan remaja indonesia mengalami pergeseran. Waw! Trend idola visual telah digeser oleh trend idoal digital-imajinal!
Kini negeri kita menjadi surga bagi produsen-produsen film animasi, buku komik Jepang, dan acara reality show ala Jepang, seperti Doraemon, sinchanian, yang disusul dengan tsunami budaya Jepang. Meski di sela-sela kedigdayaan komik dan animasi serta film remaja Jepang, kisah-kisah petualangan Barat melalui novel dan film seperti Harry Potter dan Lord of The Rings (yang diperankan oleh bintang remaja Elijah Wood) masih mampu mencuri isi dompet para orangtua di Indonesia.
Kegemaran menonton animasi Jepang telah menjelma menjadi identitas bagi beberapa remaja di Indonesia terutama di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Bahkan, yang lebih memprihatinkan lagi, menonton situs porno anime ala Jepang ditengarai telah menjadi hobi sampingan sebagian generasi remaja kita.
Mereka melahap habis habis-habisan karakter tokoh komik dan animasi Jepang dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari Gundam Seed, Bankotsu, Wizard Ro, dan Cross Dressing (busana perempuan yang sengaja dikenakan oleh pria dan sebaliknya). Mereka juga memakai e-name ala Jepang, memasang gambar grafis dan animasi Jepang sebagai wallpaper komputer, menjuraikan rambut hingga menutupi sebagian wajah, memasang ringtone Samurai di ponsel sampai mengenakan pakaian 'kedodoran' yang membungkus paha yang 'ceking' lenbgkap dengan rambut dari benang wol atau gelang yang disambung ke kalung rantai.
Tidak hanya itu, mereka mau menghemat uang jajan untuk kursus bahasa Jepang supaya bisa menghafal dan menirukan lagu-lagu seperti Tokyo Jihen dan Ayuni Hamasakki dan mengikuti trend musik rock negeri Sakura itu. Umumnya mereka mengaku sebagai penganut aliran J-pop atau cosplay (akronim costume dan play).
Bayangkan! Crayon Sinchan, yang di Indonesia dijadikan sebagai acara utama anak-anak, di Jepang hanya ditayangkan untuk dewasa, dan ditolak di Amerika Serikat.
Lalu, apakah kita mesti menolak dan menghalau setiap budaya yang datang dari luar? Tentu tidak mungkin hal itu dilakukan di era cyber ini. Bagaimanapun juga, ada sisi positif yang dapat diambil di balik kisah-kisah komik dan animasi itu, seperti keberanian Samurai dan kelembutan Geisha. Namun setidaknya para pengelola penerbitan dan pemilik telivisi bisa membantu memberikan kesempatan kepada putra-putra bangsa untuk berkreasi dan menghadirkan produk-produk budaya yang harmonis dengan jatidiri keindonesiaan. Bila hal itu tidak segera disadari dan diantsipasi, maka generasi muda bangsa ini akan hanyut dalam keterpesonaan terhadap 'orang luar' dan kehilangan kebanggaan sebagai putra Indonesia.
Derasnya serbuan produk budaya luar tidak perlu diratapi terlalu lama. Bahkan itu semestinya menjadi alasan dan motivasi bagi para pemimpin negeri ini untuk menanamkan semangat kompetisi dan kreasi agar tidak menjadi 'penonton di negeri sendiri'. Ironisnya, para tokoh nasional sibuk membicarakan pilpres dan kepentingan politik sesaat.