Skip to main content

Dunia menjadi sesak karena jumlah manusia yang terus bertambah. Akibatnya, ruang individu kian sempit. Benturan kepentingan menciptakan persaingan ketat dan perebutan brutal demi bertahan hidup.

Dalam belantara individualisme dan kapitalisme itulah, kebaikan tidaklah gratis. Sukses berarti menggagalkan orang lain, bahagia perlu tumbal derita orang lain dan keuntungan berarti menimpakan kerugian pada satu atau jutaan orang.

Banyak orang memerlukan atau menanti orang lain sebagai korban yang dijadikan alasan untuk menjadi (merasa) “baik”. Bersyukur atas kesehatan kala dengar berita seseorang sakit, berujar alhamdulillah saat melihat orang lain mengalami kecelakaan atau tertimpa petaka, memuji Tuhan atas kasih sayangNya setelah menemukan orang-orang sekitar meringkuk dalam derita seolah mereka adalah hamba-hamba tiri.

Kalau “Agar bersyukur, lihatlah yang di bawahmu,” apakah atas dan bawah ditetapkan oleh standar modal dan strata ekonomi, apakah yang berada di lapis paling bawah tak bisa bersyukur ataukah hanya merekalah yang bisa bersyukur secara gratis?

Syukur sejati adalah yang kesadaran tentang makna penghambaan yang diimplementasikan dalam setiap aktivitas tanpa perlu tumbal sebagai perangsang.