Bayangkan bila hukum setiap perbuatan masing-masing individu setiap detik harus dipastikan hukum mubah dan haram serta sahnya dulu oleh sekelompok orang.
Bila identifikasi hukum agama setiap individu mukallaf ditangani oleh sekelompok orang, maka itu sama dengan menghilangkan eksistensi personal.
Atribut “ulama” bersifat umum dan masyarakat awam memaknainya secara longgar. Karena itu, ia tidak meniscayakan kompetensi dalam bidang tertentu.
Ulama mnjelaskan hukum ijtihadi imam mazhab atau para mujtahid berupa fatwa, bukan berfatwa karena frasa “ulama” tidak meniscayakan kemujtahidan.
Ulama yang memposisikan diri sebagai pemberi fatwa (mufti) adalah orang yang mengklaim diri sebagai mujtahid. Itu harus duji kompetensinya terutama dengan fikih.
Ulama yang memposisikan diri sebagai pemberi fatwa (mufti) adalah orang yang mengklaim diri sebagai mujtahid. Itu harus diuji kompetensinya terutama dengan fikih.
Ulama yang ditanya tentang hukum syariah sebuah perbuatan harus menyampaikan hukum umum yang dipahaminya dari fatwa imam mazhab, bukan fatwanya sendiri.
Ulama yang ditanya tentang hukum umum harus dipastikan ahli dalam hukum (fiqh). Sekedar tenar, busana, klaim diri, sering ceramah tidak cukup jadi standar kualifikasi.
Ulama dan awam adalah mukallaf yang bertanggung jawab atas hukum setiap pembedanya, ulama menjelaskan hukum umum (tidak spesifik) kepada awam yang tanya.
Banyak orang awam menyerahkan penentuan halal dan haram, sah dan batal, suci dan najis, mubah dan wajib kepada yang dianggapnya ulama, padahal itu tanggungjawab pribadi mukallaf.
Banyak orang awam menganggap fanatisme dan ekstremisme sebagai kesalehan dan relijiusitas.
Setelah mengeruk keuntungan dari bisnis labelisasi halal, kini mencoba bisnis labelisasi sesat dan kafir.
Bedakan kecolongan dengan nyolong! (Baca: Akui Kecolongan Soal Investasi Bodong GTIS)
Relijiusitas simbolik dan keculasan kapitalistik. Wapadalah! Waspadalah!
Kalau mau menilai selain mazhab sendiri apalagi menyesatkannya, pelajari epistemologi mazhab.