Beberapa hari lalu saya diundang untuk bergabung dalam room diskusi yang mengangkat tema seputar “Stigma Ahlul Bid’ah”. Tujuannya adalah mencari win win solution antara kelompok yang melestarikan tradisi maulid, tahlil, ziarah kubur dan sebagainya dan kelompok yang membid’ahkannya.
Rupanya tema itu memancing banyak pemuda hijrahers untuk join. Beberapa di antara mereka adalah instruktur dan misionaris anti bid’ah yang cukup piawai dalam gertak dalil (teks) yang bersumber dari pendapat para pemuka salafi dan Ahlul hadits. Mereka tanpa tedeng aling-aling menegaskan bahwa maulid, tahlil, ziarah kubur dan tradisi mayoritas umat Islam di Tanah Air adalah bid’ah. Dari gaya makhraj yang didemonstrasikan mereka ingin membuktikan kemampuan literasi di tengah para listener. Begitu percaya diri dan optimis memenangkan ronde diskusi publik.
Tentu, di room itu banyak pula pendukung tradisi-tradisi tersebut yang keberatan dengan pembid’ahan. Meski sempat memanas, moderator mampu meredakan suhu.
Terlepas dari polemik sepanjamg masa seputar bid’ah dan tidaknya maulid dan semacamnya, saya justru terdorong untuk mempertanyakan sesuatu yang lebih fundamental. Bila masing-masing kelompok bersikukuh dengan pandangannya masing-masing karena merasa bersandar pada Al-Quran dan Sunnah, dan nampaknya perbedaan serta polemik ini akan selalu menyertai umat sepanjang sejarah, bukankah ajaran agama justru lebih banyak yang diperselisihkan ketimbang yang diterima secara merata? Bukankah umat bila berselisih tentang perkara apapun diperintahkan mengembalikannya kepada Allah (Al-Quran) dan RasulNya (Sunnah) sebagai juri? Lalu mengapa justru berselisih dalam memahami Al-Quran dan Sunnah?
Sejak detik pertama wafat Sang Nabi, umat tidak bersepakat tentang otoritas sebagai apa (konsep) dan siapa (figur) yang berfungsi sebagai sumber tunggal dan juru bicara, hampir semua yang termuat dalam kitab suci Tuhan dan yang disabdakan oleh Nabi. Sementara isi kitab suci baru dikumpulkan beberapa tahun setelah wafatnya (dengan semua polemik yang menyertainya) dan konten sabda Sang Nabi juga baru mulai didokumentasikan secara tidak sistematis seratus tahun setelahnya.
Tidak disepakatinya konsep otoritas sentral dan figur sentral pemegang otoritasnya, ajaran-ajarannya pun dipahami dan disimpulkan secara beragam oleh setiap orang yang sempat hidup sezaman dan sewilayah dengan Sang Nabi.
Keragamanan pemahaman dan penyimpulan (lazim disebut ijtihad meski uptanpa parameter yang jelas dan baku) ini secara niscaya membuahkan keragaman dalam pengamalan.
Pengamalan pemahaman yang beragam berimplikasi terhadap disintegritas umat dalam pemahaman ajaran fundamental dan elementer yang disusul dengan beragam konflik atau lomba klaim otoritas hingga detik ini.
Dengan kata lain, munculnya ragam ijtihad dalam masa sahabat lalu pada masa generasi setelahnya dan berikutnya yang dimarakkan dengan pertempuran, invasi, genosida dan intimidasi.
Zaman demi zaman bertambah seiring dengan bertambahnya wilayah dan para penganut dari aneka etnisitas, suku dan ras. Akibatnya, problema hukum pun kian bertambah. Karena otoritas sentral bukan sesuatu yang dianggap urgen untuk diterima dan disepakati, setiap individu pun berkreasi membuat penyimpulan ajaran dan hukum bila merasa mampu atau menjadikan individu lain sebagai referensi berdasarkan pandangan subjektif dan pertimbangan personal juga sektarian. Jadilah ia agama yang tersusun dari aneka pandangan dan doktrin. Umat penganutnya pun sibuk membuat kesimpulan-kesimpulan sendiri atas nama kelompok aliran atau individu.
Selisih prosentase ajaran yang disepakati dengan yang dipersengketakan oleh para pemukanya juga umat penganutnya terlalu jauh. Karenanya, sulit atau mungkin mustahil diterapkan sebagai sistem sosial yang integral dan sulit membentuk satu umat yang padu.
Salah satu “berkah” keragaman ini, ia terlihat cukup sukses mencetak banyak penceramah dan penyebar quote kebijakan, meski belum mencetak satu masyarakat solid, padu dan integral dalam ajaran dan pengalamannya. Klaim otoritas juga klaim kebenaran persepsi yang dianggap sebagai ajaran agama (yang disebut Intoleransi, fanatisme, ekstremisme dan semacamnya) pun seolah menjadi ciri khas sikap dan perilaku individu-individu penganutnya.
Sebagian besar lembaran sejarah para pemegang kekuasaan di dalamnya berbau anyir darah genosida kelompok “pembangkang’ dan pembersihan, perburuan, penyekapan, permenggalan manusia-manusia teladan, para bijakawan, filosof dan mistikus. Penjajahan berupa ekspansi dan aneksasi dikenang sebagai perluasan agama dan masa kelam berkuasanya para tiran berjubah agamawan diagungkan sebagai masa kejayaan.
Persepsi yang didukung oleh jumlah yang lebih banyak secara resmi ditetapkan sebagai representasi agama. Sedangkan pemahaman yang tak sejalan juga penganutnya menjadi objek penyesatan dan pengkafiran sebagai justifikasi aneka seni pengucilan, pengabaian dan segala jenis agresi.
Karena sibuk berselisih dan gontok-gontokan antar individu dan kelompok yang sama-sama mengaku penganutnya, tak pernah menjadi sebuah entitas sosial yang kokoh, berwibawa dan disegani di tengah entitas-entitas sosial lainnya.