(Untitled)
"DERBY POLITIK IDENTITAS"
Ade Armando lagi-lagi mengundang kontroversi. Dalam pernyataannya, dia menghimbau umat Kristen tidak memberikan suara untuk Anis Menurutnya, Anies Baswedan hanya akan menang sebagai Presiden apabila suara pemilih dari umat kristen terbelah dan Ganjar Pranowo harus mampu mendapatkan dukungan dari umat kristen untuk dapat mengalahkan Anies.
Pernyataan ini dikecam oleh para pendukung Anies dan beberapa politisi nasionalis bukan pendukung Anies juga sejumlah tokoh beragama Kristen, bahkan PBNU, karena dianggap memuat politik identitas dan memecah belah bangsa.
Yang memprihatinkan, Ade sempat menanggapi reaksi tersebut dalam video terbaru demi menjustifikasi pernyataannya lalu menyebut beberapa nama pengkritiknya seraya menganggap mereka semua sebagai pendukung Anies.
Tapi yang paling mengejutkan adalah tanggapan tajam dan kritik pedas, Permady Arya, pegiat medsos yang bisa dianggap sekubunya.
Boleh jadi, reaksi Permady mewakili kekhawatiran sekubunya bahwa pernyataan Ade bisa menjadi blunder sekaligus "promosi gratis" bagi Anies. Para penentang Anies mungkin menganggap pernyataan keras Ade Armando justru bisa menarik simpati publik kepada Anies yang sampai saat ini relatif tenang, tidak reaktif secara berlebihan digempur narasi kebencian dan penentangan dari yang elegan sampai serampangan.
Sulit dipungkiri, kemenangan Anies Baswedan dalam pilgub DKI yang lalu atas Ahok, yang akhirnya dijebloskan ke penjara atas tuduhan penistaan agama, tidak bebas dari praktik politik identitas.
Karena pengalaman itulah, Ade Armando, sebagaimana dinyatakannya sendiri, dia memastikan Anies, meskipun diakuinya sebagai secara pribadi sebagai orang sekuler dan toleran, akan menggunakan politik identitas dalam pilpres 2024 mendatang demi meraih suara mayoritas Muslim, terutama kelompok-kelompok intoleran.
Demi mengantisipasi kemenangan Anies yang dijulukinya "bapak identitas", Ade menghimbau umat Kristen bersatu suara memilih Ganjar, meski partainya belum menentukan sosok yang akan jadi capres. Dia menganjurkan kaum Kristen tidak memilih Anies Baswedan dan memberikan suara bulat untuk Ganjar Pranowo. Menurutnya, kalau suara kaum Kristen terpecah, sedangkan sebagian besar umat Islam akan diberikan kepada Anies, maka menurutnya, Anies akan menang.
Terlepas dari kontroversi di atas dan tanpa pretensi memihak kepada kubu pendukung Anies dan kubu pendukung Ganjar, Ade Armando mungkin sengaja tidak memberikan gambaran utuh tentang fakta politik identitas di Indonesia sebagai berikut :
-
Politik identitas tak hanya isu agama. Politik identitas adalah sebuah alat politik suatu kelompok seperti etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya untuk tujuan tertentu, misalnya sebagai bentuk perlawanan atau sebagai alat untuk menunjukan jati diri suatu kelompok tersebut.
Faktanya, politik identitas menjadi takdir politik di negara kita, juga di negara-negara lain, ternasuk di negara-negara Barat.
Faktanya pula, kubu kontra politik identitas agama juga menggunakan politik identitas dengan narasi klaim nasionalisme, pro NKRI bahkan narasi rasisme dan klaim supremasi ras juga otensitas kepribumian.
-
Politik identitas agama yang mewarnai pilgub DKI lalu tidak hanya dilakukan oleh Anies semata. Politik identitas pada pilgub DKI lalu yang ditandai dengan pemenjaraan Ahok dan kemenangan Anies adalah hasil kerjasama banyak pihak yang lebih menentukan daripada seseorang yang berambisi menjadi gubernur.
Faktanya aksi-aksi demo anti Ahok dan usaha intensif pemenjaraan Ahok demi menghambat kemenangannya digerakkan dengan tokoh sentral, disegani dan dianggap representasi dari otoritas Islam yang tanpa perannya, hasil pilgub sangat mungkin berbeda. Ironisnya, agamawan yang menjadi ikon sakti aksi-aksi bernomer malah mendapatkan privilege politik setelah pilgub yang tragis itu.
-
Politik identitas agama tak hanya dilakukan oleh Anies dan kubu yang notabene Islam, tapi digunakan pula oleh kandidat-kandidat dari kubu nasionalis dalam pilpres lalu.
Faktanya, salah satu kandidat dari kubu nasionalis merangkul kelompok-kelompok yang nyata ekstrem demi bersaing dengan kandidat imcumbent yang juga berasal dari kubu nasionalis.
Faktanya pula, para pendukung petahana yang nasionalis terkesan mengimbangi politik identitas kandidat nasionalis penantang dengan langkah-langkah strategis yang sulit untuk disucikan dari aroma politik identitas, terutama pada detik-detik jelang pengumuman pasangan kandidat sebelum masa resmi kontestasi dimulai.
Hikmah, yang bisa diambil dari ketegangan akibat politik identitas pada pilgub DKI dan pilpres yang lalu adalah pentingnya menolak pemutlakan dalam pilihan politik demi menghindari ketegangan dan konfllik yang justru menjadikan pesta demokrasi menjadi pesta demonstrasi.
Semoga masing-masing pendukung bisa bersaing dengan secara elegan dan fair.