AROGANSI BUDAYA

AROGANSI BUDAYA

Sejumlah orang, saking ingin terlihat maha nasionalis, membanggakan budaya suku atau masyarakat dalam negara (bangsa) seraya membandingkannya dengan budaya suku dan bangsa lain, bahkan kadang menyebut suatu suku dan bangsa sambil merendahkannya. Padahal membanggakan sikap toleran yang diklailm sebagai budaya bangsa sekaligus menegasinya dengan pernyataan intoleran terhadap budaya bangsa lain adalah paradoks.

Silakan memuliakan dan budaya sukumu sendiri dan budaya bangsa dan negaramu sendiri tapi tak perlu merendahkan budaya suku lain dan budaya bangsa lain.

Bila seseorang atau sebuah masyarakat merasa berbudaya dan menganggapnya mulia, maka orang lain dan masyarakat-masyarakat lain juga merasa demikian dan menganggap budayanya masing-masing sebagai mulia.

Seaneh apapun budaya suku dan budaya bengsa di mata suku dan bangsa lain tetaplah mulia bagi yang memuliakannya. Tradisi berebut kotoran "kerbau bule" yang diyakini keramat dan berkah oleh sekelompok suku atau masyarakat di sebuah daerah, mungkin terlihat aneh bagi masyarakat lain, tapi mesti dihormati. Penghormatan sebagai sikap etis ini mestinya diterapkan terhadap budaya di manapun.

Kesopanan dan penghormatan kepada sesama manusia bukanlah khas budaya sebuah bangsa dan satu negara tapi etika kemanusiaan lintas suku, bangsa dan negara. Cara mengekspresikan kesopanan dan cara melakukan penghormatan, karena berbeda-beda adalah budaya khas.

Budaya juga tak selalu khas dan lokal, sebagian gaya hidup dan kesukaan di era modern disepakati sebagai budaya global. 

Terlepas dari dua macam lokal dan global, budaya bukanlah wahyu yang mutlak benar, bukan postulat aksioma logika yang sangat valid, bukan kalkulus matematika yang diterima dengan akal sehat dan bukan hukum thermodinamika yang bisa diafirmasi secara empiris. Ia adalah produk sebuah proses interaksi yang relatif dan dinamis.

Read more