KEPERGIAN TEMAN

KEPERGIAN TEMAN

Seorang teman yang terdidik secara maksimal di bidangnya setelah melanjutkan studi di perguruan tinggi di Eropa hingga berjaya mencapai level akademik tertinggi telah pergi.

Rasa kehilangan menyergap hati siapa saja bila seseorang terlanjur menjadi bagian dari kebanggaan dan kebahagiaannya pergi meninggalkannya begitu saja.

Kepergian teman istimewa  bisa terjadi dalam ragam peristiwa. Salah satunya adalah kematian, tapi bukan hanya itu. Kematian sebagai kepergian biologis bukanlah kepergian sejati karena ruh teman yang baik secara eksistensial tetaplah hidup bersamanya.

Sebagian teman yang istimewa pergi secara sosiologis dan tak lagi bergaul dan berkomunikasi karena salah satu dari banyak faktor sosial seperti karir, problematika hidup, jarak, jeda waktu yang lama, keterbatasan dan sebagainya.

Ada pula teman pergi tanpa kembali karena memilih pandangan keagamaan yang mengharuskannya memilih arah berlawanan. Kearena kepergian ini merupakan keputusan terencana sebagai konsekuensi pilihan, maka rasa kehilangan yang timbul lekas pudar.

Yang paling berat efeknya adalah kepergian etis dan logis. Seseorang yang digdaya dalam pengetahuan dalam bidang itu sekonyong-konyong mendeklarasikan kematian moral yang menyingkap pandangan picik dan perasaan keruh di balik sosoknya dalam sebuah tulisan tentang pengalaman personalnya yang buruk dengan seseorang.

Dia tak berhenti sampai di situ. Sikap negatif orang yang dikisahkannya memompa adrenalinenya untuk menyempurnakan kebencian personal menjadi kebencian kepada satu komunitas yang terasosiasi dengan orang itu tanpa secuilpun iba, karena frasa dan diksi yang ditembakkannya dalam setiap celotehnya menyasar semua tanpa eksepsi.

Vonis keji itu menghancurkan pertahanan moral yang dibangunnya dengan susah payah sekaligus menyingkap kesombongan akut yang disimpan rapi dalam slot terbawah kesadaran kognitifnya.

Karena menganulir deklarasi kebencian di ruang publik adalah keputusan sulit, apalagi meminta maaf kepada lebih dari 2 juta insan satu demi satu yang menjadi korban penghinaannya, ditambah dengan banyaknya yang terpengaruh dan mengikuti jejak dalam sistem trickle down effect, adalah sesuatu yang nyaris mustahil baginya. Tak cukup waktu untuk itu. Lebih mustahil bila merasa terlalu ningrat untuk merasa keliru.

Tentu dia punya premis apologetik tentang itu, tapi suaranya terdengar lamat-lamat, karena terlalu jauh pergi. Eembarkasi terakhir, terninal hisab mungkin akan menjadi lokasi reuni. Kelak.

Siapakah gerangan? Rapenting. Yang penting adalah ibrah di baliknya.

Read more