"NAPALM"

Kedengkian takkan mengendap lama karena motif dasarnya adalah agresi. Karena itulah, ia pasti menyeruak.
Orang cerdas bisa mengambil lapis terendah dan pola tersamar dari kedengkian (karena kedengkian vulgar hanya diekspresikan oleh yang bebal), dengan modus menambahkan sedikit tusukan dalam kemasan candaan tertuju ke dada terdengki yang dipastikannya takkan kuasa memprotes, apalagi membalas di tengah kepungan caci.
Celoteh dalam kemasan candaan sengaja dipilih demi menyediakan dalih untuk berkelit atau bahkan peluang dan alasan menambahkan tusukan berupa tuduhan baper dan bersangka buruk di dada yang terhuyung di tengah kepungan.
Dia cukup cerdas untuk tahu bahwa membalas dan tidak membalas tetaplah derita yang sedang dinikmatinya. Derita itulah yang mengiringi dengus napas dan membinarkan matanya.
Akhir derita terdengki adalah awal derita pendengki. Karenanya, ia terus berharap episode-episode mutilasi stereotipisasi itu tetap tertayang agar bisa melenyapkan dahaga adrenaline yang mengelegak dalam aliran darah, urat syaraf dan semburan hormonnya.
Dia sadar bahwa vonis stereotipe adalah napalm yang menghanguskan apapun yang kering dan mengeringkan apapun yang basah, tapi apa mau dikata! Derita massal ini terlalu nikmat baginya untuk disudahi dan ditukar dengan sayembara pahala dalam klausa traktat agama.