TERIMA KASIH, MUHAMMAD!
Pemikir Muslim kaliber dunia, Muhammad Baqir al-Sadr, Dalam bukunya "Bahts haul Alwilayah," memberikan analisis sosiologis dan filosofis tentang dua kemungkinan opsi sikap dan proyeksi Nabi Muhammad SAW terhadap masa depan misi ajarannya pasca wafatnya, yaitu proaktif dan pasif.
Opsi sikap pasif:
Nabi Muhammad SAW sebagian besar mempercayakan penyelesaian atau kelangsungan misi ajarannya kepada para sahabat atau umat Muslim tanpa campur tangan langsung atau penunjukan yang sangat spesifik. Ini mungkin menunjukkan keyakinan Nabi terhadap kemampuan umat Muslim dan para sahabatnya untuk melanjutkan ajaran Islam tanpa campur tangan langsung dari beliau.
Asumsi sikap pasif ini mengabaikan fakta sosiologis masyarakat yang baru dan sedang terbentuk dalam proses yang dinamis bermula dari perintisan dakwah yang menghasilkan sebuah simpul kecil di Mekah lalu pengembangan gradual masyarakat di Madinah dengan beragam problema infiltrasi komplotan intruder yang menolak kehadiran para pengungsi dan pencari suaka dari Mekah dan intrik sabotase para zionis purba di kawasan eksklusif Quraidhah dan memuncak dengan konversi massal para mantan serdadu Mekah, termasuk sejumlah gembong yang ditetapkan DPO yang akhirnya mendapatkan amnesti Nabi.
Asumsi ini juga menabrak fakta peristiwa Ghadir Khum. Sebagai manusia paling bijak dan pemimpin paling suci, Nabi Muhammad SAW pastilah bersikap proaktif terhadap masa depan misi ajarannya pasca wafatnya.
Opsi sikap proaktif
Nabi Muhammad SAW yang telah secara proaktif merencanakan dan menetapkan langkah-langkah konkret untuk memastikan kelangsungan dan kesucian ajaran Islam setelah wafatnya. Dalam konteks ini, Nabi mungkin telah melakukan persiapan, penetapan kepemimpinan yang tepat, dan memastikan bahwa ajaran Islam akan dipelihara dengan baik setelahnya. Tindakan-tindakan proaktif ini dapat mencakup penunjukan Imam Ali sebagai Khalifah atau langkah-langkah lain yang diambil untuk memastikan kelangsungan ajaran Islam.
Peristiwa Ghadir Khum merupakan salah satu peristiwa penting dalam sejarah Islam yang terjadi saat haji terakhir Nabi Muhammad SAW. Peristiwa ini terjadi ketika Nabi Muhammad SAW kembali dari haji terakhirnya dan singgah di suatu tempat bernama Ghadir Khum, yang merupakan suatu oase di jalan antara Mekah dan Madinah.
Pada saat itu, Nabi Muhammad SAW meminta agar para sahabatnya berhenti dan menunggu para jamaah haji yang masih tertinggal agar bisa menyampaikan suatu pesan yang penting. Ketika semua orang berkumpul di Ghadir Khum, Nabi Muhammad SAW naik ke atas mimbar yang terbuat dari tumpukan batu dan memberikan pidato pentingnya.
Dalam pidato tersebut, Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa Imam Ali bin Abi Thalib adalah pemimpin yang akan menggantikannya setelah beliau wafat. Nabi Muhammad SAW menegaskan pentingnya cinta dan penghormatan terhadap Imam Ali serta menyampaikan bahwa siapa pun yang mengakui dan mendukung kepemimpinan Ali, maka dia juga akan mendapat dukungan dan cinta dari Allah SWT dan Rasul-Nya.
Peristiwa Ghadir Khum menegaskan posisi Imam Ali sebagai pemimpin yang dipilih oleh Nabi Muhammad SAW dan digunakan sebagai dasar bagi keberlanjutan kepemimpinan di dunia Islam setelah beliau. Pidato Nabi Muhammad SAW di Ghadir Khum juga merupakan pesan penting tentang persatuan umat Islam dan pentingnya mendukung pemimpin yang dipilih secara sah dan ilahi.
1. Al-Quran
Banyak Ayat Al-Qur'an yang menegaskan peristiwa ini, antara lain dalam Surah Al-Ma'idah (5:67): "Hai Rasul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu; jika engkau tidak melakukannya, maka kamu tidak akan mengantarkan pesan-Nya (maka Rasulullah mengucapkan): "Ya Tuhan, rakyat ini [Pun menolak Al-Qur'an].”
2. Hadis
Banyak kitab hadis tentang peristiwa, antara lain adalah Shahih Muslim, Kitab Fadhail Al-Sahabah, Bab Fadhail Ali ibn Abi Thalib: "Barangsiapa yang aku adalah pemimpinnya (mawla), maka 'Ali adalah pemimpinnya (mawla).'"
3. Sejarah
Kitab-kitab sejarah Islam klasik, antara lain adalah Al-Isabah fi tamyiz al-Sahabah" dan "Al-Isti'ab fi ma'rifat al-ashab" karya Ibn Hajar al-Asqalani.
Dengan merujuk pada ayat Al-Qur'an, hadis yang sahih, dan riwayat sejarah yang mendasar, kita dapat melihat bahwa peristiwa Ghadir Khum memang memiliki landasan yang kuat dalam ajaran Islam dan sejarah Nabi Muhammad SAW.
Meski selama hidupnya menunjukkan pertanda-pertanda dan memberikan indikasi yang kuat bahwa Ali adalah penggantinya yang sah dan layak untuk memimpin umat setelahnya, rencana matang dan skema brilian itu tak terlaksana.
Namun, tak terlaksana sebagai fakta material dan historis tak berarti tak terlaksana secara konseptual dan moral sebagai spirit yang terus menggelegak dalam dada bahwa agama ini telah sempurna.
Tanpa bermaksud menggali fosil masa lalu dengan segala merah dan hitamnya, memperingati peristiwa Ghadir adalah apresiasi teringgi kepada manusia teragung ini atas rencana super briliannya.
Terimakasih, Muhammad!