UNTUK TEMAN-TEMAN SEKOMUNITAS
Entah berapa puluh artikel yang sudah saya tulis seputar isu ini demi menyuarakan pandangan yang seimbang. Ternyata isunya makin liar dan santer hingga menyisihkan isu Palestina dan Gaza, bahkan membuat sebagian orang terhormat tergelincir secara moral, intelektual dan sosial juga mengeruhkan suasana batin yang mengiringi hari-hari banyak orang (jutaan orang) yang terkena getahnya, terkepung selama dua tahun oleh narasi kebencian tak berujung meski tak pernah tertarik ikut antrian untuk mencicipi nangkanya..
Ketika api fitnah ini mulai mendekati keluarga besar pengikut Ahlulbait di Indonesia, bahkan mulai menyambar keluarga sebagian orang secara online dan offline, dengan berat hati masuk belukar ini lagi demi pelaksanaan beban taklif sebagai orang waras meski mungkin tak terlalu optimis dengan pengaruhnya karena negativitas di medsos terasa lebih sensasional dan eksplosif bagi hormon adrenaline.
Karena sebagian besar yang mengaku dan dikenal sebagai dzuriyah di sini bukan penganut Syiah, maka tidak heran jika terdapat pernyataan bahwa dzuriyah adalah Ahlulbait sesuai dengan doktrin mazhab yang dianut oleh mereka, dan dianut oleh umat yang menghormati mereka sebagai Ahlulbait.
Umat Islam penganut mazhab Syiah merasa wajib meyakini Ahlulbait dan Itrah sebagai individu-individu yang disucikan oleh Allah bukan karena gemar menyanjung, tapi karena kesucian tanpa fungsi sakral sebagai mandataris Nabi dan pengawal agama hingga akhir zaman adalah absurd dan bertentangan dengan sifat keadilan Allah.
Mazhab Syiah meyakini Ahlulbait dan Itrah sebagai orang-orang tertentu dalam jumlah tertentu Ahlulbait dan Itrah (12 imam) sebagai sumber agama setelah Allah dan Nabi SAW. Itu prinsip. Artinya, dalam masyarakat siapapun yang mengaku sebagai dzuriyah Nabi diterima tanpa perlu proses pembuktian dan lainnya dan dihormati secara proporsional. Tapi penerimaan dan penghormatan itu tidak bisa dieksploitasi dan dikapitalisasi, apalagi diupgrade sebagai Ahlulbait karena keyakinan masyarakat Syiah tentang kesucian Ahlulbait dan otoritas mutlak 12 Imam yang ditetapkan oleh Allah melalui Nabi bersifat fundamental dan final.
Karena itu orang-orang Syiah (mestinya) Mestinya pandangan fikih Ahlulbait tentang parameter itsbat yang disampaikan Sayyid Mahdi Rajai dan para ulama Syiah lainnya sudah lebih dari cukup untuk diterima. Mestinya menahan diri, mulut dan jari untuk tidak sibuk ikut larut dalam narasi pembatalan yang berujung kepada hate speech, provokasi dan framing rasisme dengan aneka cercaan dan fitnah serta vonis gebyah uyah. Mestinya mengutamakan empati, toleransi dan kehati-hatian dalam menulis, menyebarkan konten dan berkomentar. Mestinya mengaktivasi basirah tentang fokus pada prioritas sesuai arahan pemegang otoritas tentang bahayanya siasat Zionis dalam pengalihan perhatian, pelemahan poros perlawananan, dan pecah belah umat Islam serta bangsa. Mestinya sudah lama mencium aroma pengalihan umat di sini dari rencana normalisasi dengan polemik kelompok dan polemik nasab dan intrik pemecahan antar umat. Mestinya bila tak merasa terpanggil untuk meredam dan mematikan, membiarkannya lebih manusiawi.
Lagi pula bila diperhatikan, orang-orang yang diyakini sebagai dzurriyah kerap membuat pernyataan yang mengaku diri sebagai Ahlulbait -yang kini dipersoalkan- merupakan korban penyanjungan masyarakat penganut mazhab yang menganggap dzuriyyah sebagai Ahlulbait. Mereka dan para muhibbin adalah korban.
Perilaku buruk sebagian dari mereka terduga kuat sebagai efek peng-ahlulbait-an dzurriyah. Karena di-Ahlulbait-kan, dan Allah menetapkan kesucian Ahlulbait, maka klaim kesucian yang dilontarkan oleh sebagian mereka bukanlah buatan mereka, tapi konsekuensi doktrin mazhab yang mereka anut.
Tiba-tiba sekarang orang-orang yang tidak menganut mazhab yang mengimani hak mutlak Ahlulbait sebagai sumber hukum ketiga setelah Allah dan Nabi dan tidak membedakan antara Ahlulbait dan dzurriyah bawa-bawa narasi bahwa Ahlulbait bukan dzuriyah, sebagaimana diimani oleh Syiah. Bilamana sekarang aktif menyuarakan pembedaan antara Ahlulbait dan dzurriyah, maka itu jelas pembangkangan terhadap mazhab sendiri. Bila sampai rela memakai doktrin mazhab Syiah tentang Ahlulbait sebagai orang-orang tertentu, pasti ada tendensi tertentu. Salah satunya adalah efek pengalaman negatif yang menimbulkan kekecewaan berat dan sakit hati dalam interaksi antara yang mengira dirinya Ahlulbait karena dzurriyah dan yang merasa menghormati dzurriyah sebagai Ahlulbait karena doktrin yang diyakininya. Tendensi lainnya adalah kekecewaan kepada orang-orang yang sudah menikmati penghormatan sebagai Ahlulbait namun dianggap pelit untuk berbagi hak istimewa dengan orang-orang yang meyakini diri mereka sebagai Ahlulbait yang telah disucikan sesuci-sucinya oleh Allah sebagaimana ditegaskan dalam ayat ke33 surah Al-Ahzab.
Ternyata jumlah yang kecewa cukup banyak, maka berkonsolidasilah "manusia-manusia suci" new comer untuk mendelegitimasi "manusia-manusia suci" petahana. Ini adalah perseteruan dua kelompok yang memperebutkan klaim kesucian, nasab mulia para imam suci yang dicantumkan nama mereka dalam lembar silsilah, yang sama-sama tidak mengikuti ajarannya, tidak menziarahi mereka, tak pernah memperingati hari kelahiran dan kesyahidan mereka, tak pernah mengutip riwayat dari sanad mereka dan ucapan-ucapan mutiara mereka.
Yang terasa ganjil adalah munculnya beberapa orang juga teman semazhab yang mestinya paham bahwa polemik nasab, apalagi penghinaan kepada nama-nama yang merupakan kakek dan leluhur (karena cucu germo pun tak rela kakeknya dihina) tidak relevan dalam komunitasnya karena kesucian Ahlulbait merupakan mekanisme takwini demi tugas mengawal agama suci.
Mereka paham juga bahwa siapapun dari keturunan siapapun takkan pernah menganulir syariah dan standar moral, tapi malah ikut-ikutan mengamplifikasinya tanpa secuilpun empati dan apresiasi terhadap figur-figur yang tak pernah satu kalipun memajang gelar akademik, apalagi cium tangan dan hak istimewa.
Mereka sadar betul bahwa penghormatan dalam lingkungan komunitas selalu sepadan dengan kadar ketakwaan, risiko perjuangan, kontribusi ilmu dan perilaku keteladanan. Mereka tahu bahwa sebagian atau sebagian besar penyebar ajaran suci Ahlulbait dengan segala risikonya adalah orang-orang yang saat ini dimasukkan dalam satu paket target genosida narasi rasisme dan ujaran kebencian.
Mereka sudah tahu bahwa penganut Syiah yang dikenal sebagai dzurriyah baik yang memajang marga maupun tidak, baik yang dipanggil habib maupun tidak, adalah orang-orang yang telah rela untuk tidak mendapatkan hak-hak istimewa yang mungkin bisa dinikmatinya bila tak dikenal sebagai Syiah, terutama bila hidup di sentra-sentra otoritas tradisional alawi di sejumlah kota di Indonesia karena telah mengembalikan hak istmewa kesucian kepada orang-orang khusus yang telah menerima tugas mengawal agama.
Yang terasa sangat ironis, adalah mengutip pernyataan-pernyataan dalam ceramah ustadz dari Baalawi juga mencemooh seluruh Baalawi mengikuti narasi para pembenci di luar komunitas semazhab seolah lupa bahwa pemegang saham terbesar penyebaran ajaran suci ini di sini adalah seorang alawi yang dimakamkan di Kenep Bangil dan seakan tak percaya bahwa satu kata menyakiti orang yang tak menyakitinya, tak dihapus dosanya kecuali didahului dengan maaf dari korbannya.
Semoga Allah mengampuni kita semua dan melenyapkan rasa lelah untuk tetap menyebarkan kebaikan.