Berdakwah adalah sebuah aktivitas mulia yang merupakan salah satu bagian dari prinsip amar makruf dan nahi mungkar. Sedemikiian pentingnya dakwah sehingga bila tidak dilakukan sesuai dengan batasan-batasan normatifnya akan memmbulkan fek yang negatif.
‘Ustadz’ (dibaca ustad, tanpa ‘z’) secara etimologis dan leksikal berasal dari bahasa Persia yang berarti’orang pandal’sebagaimana sejumlah kata Persia yang mengalami arabisasi. Secara terminologis, ia adalah tribut yang disandang oleh seseorang yang memiliki kualifikasi maksimum dalam mengajarkan sebuah bidang ilmu. Secara konvensional, ‘ustadz’ cialam bahasa Persia dan Arab berarti ‘guru besar’ (profesor). Namun di Indonesia kata ini telah mengalamai penyempitan makna (simplifikasi) sehingga ia bisa disandang atau disandangkan secara acak oleh siapa saja, apalagi bila telah dinyatakan lulus seleksi dan audisi lewat polling sms dari penggemar.
Sebutan ‘ustadz’ bukan lagi simbol kompetensi intelektual (akademis), tapi produk industri media yang berorientasi pada pasar dan modal. Bagi sebagian kalangan yang bersikap positive thinking, fenomena ke-ustadz-an di Indonesia belakangan iniadalah pertanda meningkatnya antusiasme dan animo (baca : ghirah) masyarakat terhadap agama dan tayangan-tayangan religius, termasuk film-film ala Siksa Kubur dan Maghfirah atau ‘Ustadz bukan malaikat’ dan sejenisnya.
Anda tinggal menekan tombol remote control untuk memilih saluran televisi yang berlomba menarik pemirsa dengan paket-paket religius dan mencari ustadz favorit Anda.
Paling tidak, ada enam tipe ‘ustadz seleb’ yang bisa dimkmati ceramahnya (tentu juga wajahnya yang bersinar dan menarik). Pertama, ustadz mengandalkan ‘retorika cengeng’. Ustadz tipe ini ahli memainkan perasaan, pintar olah vokal, terampil mengatur mimik dan bahasa tubuh, tangkas memilih diksi dan kata puitis yang menyentuh, handal mengeksploitasi emosi hadirin, dan jago mengaduk-aduk hati lembut kaum lbu metropolitan yang cemas dan mengalami kegundahan spiritual akibat was-was suaminya berselingkuh, terjerat kasus korupsi atau anaknya tertawan narkoba dan sebagainya.
Kedua, ustadz yang menggunakan ‘retorika cabul’. Ustadz tipe inilebih banyak melakukan show di luar studio televisi. Ia lebih sering mengisi ceramah dalam acara alimah, haul, tasyakuran, akikah dan semacamnya di rumah-rumah kampung, terutama sekali di kalangan menengah ke bawah.
Ketiga, ustadz yang mempu mendemonstrasikan ‘retorika jenaka’. Harus diakui, sebagian isi ceramah ustadz jenis ini memang cukup menghibur dan membuat kita terpingkal-pingkal sedemikian rupa sehingga kita lupa bahwa itu adalah se buah pengajian atau ceramah agama.
Keempat, ustadz yang menggunakan ‘retorika horor’. Ustadz ini biasanya ikut main dalam film-film sejems Maghfirah. Kemampuannya, sebagaimana sering disebarluaskan, menjinakkan jin dan menaklukkan roh-roh gentayangan benar-benar membuat sebagian besar pemirsa berdecak kagum.
Kelima, ustadz yang mempunyai kemampuan menggunakan ‘retorika dukun’. Ustadz tipe tabib yang timbul tenggelam dan silih berganti ini sangat digemari oleh kelompok masyarakat yang merindukan jalan pintas penyembuhan penyakit yang tak kunjung sembuh secara medis, atau kelompok masyarakat yang tidak mampu membeli obat yang berharga mahal.
Keenam, ustadz yang pandai menggunakan ‘retorika gaul’. la umumya berpenampilan menarik, bahkan nyaris cantik, berbusana necis, bersuara meredu, fasih bahasa tubuh, andal memainkan, bahkan bisa bernyanyi (bukan hanya qasidah) juga menari (nge-rap).
Ketujuh : Profesi pendakwah dan bijakawan yang tampil di dunia maya terutama di media sosial. Boleh jadi, di dunia beton dan tanah dia bukan ustadz bahkan tak relijius. Ia bisa tampil “paling bijak” secara imaginal sehingga memenuhi harapan kandas banyak orang tentang sosok relijius di dunia real. Ia menampung aneka curhat terutama yang mengandung unsur kegalauan melalui private chat dengan personal approach yg memikat, teduh dan “akrab”. Inilah “ustadz digital”.
Apakah fenomena ustadz terutama yang sekali sering tampil di teve, termasuk yang nyambi sebagai bintang iklan, adalah bagian dari skenario desakralisasi agama dan kapitalisasi relijiusitas? Ataukah fenomena itu justru merupakan trend ultra modern pola keberagamaan? Wallahu a’lam.