Perkawinan dilakukan oleh manusia karena mengikuti dorongan instingtif menyempurna dengan survivalitas, reproduksi dan regenerasi melalui aksi pemenuhan kebutuhan seksual dalam sebuah interaksi fisikal (kontak dua kelamin yang berlainan) antar dua individu, laki dan perempuan. Selain itu, manusia juga memenuhi kebutuhan sosial dan lainnya sesuai visi masing-masing individu.
Karena berakal, manusia mempercayai norma dan sistem nilai. Sebagian besar manusia menganut atau memilih agama sebagai sistem nilai dan norma. Agama melengkapi perkawinan yang merupakan kebutuhan natural dengan aturan dan prosesi khusus yang disebut pernikahan.
Sebagian besar dari pernikahan dilakukan dengan tujuan membentuk unit sosial dan institusi struktural dengan segala hak dan kewajiban yang lazim disebut rumahtangga atau keluarga.
Sebagian besar pasangan, karena tak memahami perbedaan perkawinan yang merupakan aktivitas intingtif pada setiap makhluk biologis dengan perkawinan yang merupakan prosesi agama, melaksanakan prosesi pernikahan, padahal tujuan tunggalnya melakukan perkawinan semata. Inilah sumber utama kegagalan.
Karena pasangan yang menikah adalah dua individu yang berbeda dalam banyak hal bahkan sebagaan harusi berlawanan (seperti jenis kelamin dan tak sedarah), maka ia adalah drama nyata dengan aneka kemugkinan dan ragam kejutan. Kadang yang terlihat ideal dan mesra sejak pacaran dan tunangan, dalam sekejap menjadi musuh yang saling menghancurkan. Kadang yang nikah dadakan dan tak saling mengenal, justru langgeng. Kadang yang terlihat sebagai pasangan dalam kemitraan, justru salah satunya adalah penindas dan tertindas, raja dan jelata atau ratu dan babu.
Setengah dari pernikahan adalah kegagalan (perceraian, bahkan konflik dan kebencian yang menyengsarakan anak-anak yang dibuahkan). Setengah lainnya terbagi dua. Bagian pertama adalah kesabaran salah satu atau keduanya (demi alasan dan pertimbangan tertentu). Bagian kedua adalah kebahagiaan. Kebahagiaan terbagi dua. Bagian pertama adalah kebahagiaan palsu atau pura-pura bahagia (demi menjaga citra, menutupi malu atau keuntungan finanasial dan lainnya). Bagian kedua adalah kebahagiaan sejati. Kebahagiaan sejati dibagi dua. Bagian pertama adalah kebahagiaan sejati yang temporal. Bagian kedua adalah kebahagiaan sejati yang terus dicari.
“Camkan dalam benakmu tiga hal pasti; tak ada nyaman di dunia, tak ada aman dari ucapan orang dan tak ada selamat dari kematian.” (Ali AS).