VIVA SURIAH!

VIVA SURIAH!
Photo by Unsplash.com

Akhirnya semesta memihak kebenaran dan kehormatan Suriah setelah bersabar melalui perlawanan dengan segala keterbatasan dan spirit nasionalisme yang menyala-nyala menghadapi konspirasi politik dari dunia Barat bahkan Liga Arab dan rezim-rezim di dunia Islam yang tunduk kepada AS dan sekutunya, gempuran militer dari dalam melalui faksi-faksi militer yang biadab, rongrongan konsisten Turki Erdogan yang culas dan kepungan media dari ribuan channel tv dan media sosial dengan 1001 macam provokasi sektarian, hoax dan disinformasi.

"2019 adalah tahun kemenangan Poros Resistensi. Viva Suriah!" ucap Atwan Abdul Bari berapi-api di dalam broadcast mingguan di channel akun You Tube-nya. Jurnalis senior berasal dari Palestina ini terlihat sangat emosional saat memberikan ulasan tentang keputusan Trump yang secara mengejutkan melemparkan handuk putih di Timur Tengah. Stasiun Almayadeen, yang didirikan oleh para jurnalis eks Aljazerra menurukan liputan dan menjanjikan sejumlah talkshow serta kaleideskop 2018 tentang peristiwa kemenangan kolosal ini dalam beragam acara jelang pergantian tahun. Kegembiraan ini melanda Suriah, Lebanon dan Iran bahkan seluruh dunia.

AS lari. Israel cemas. Turki kalap. Iran dengan Hezbollah, Rusia dan Suriah menjungkirbalilkan skor dalam kombinasi kesabaran Bashar, keuletan Rouhani dan percaya diri Putin. Suriah yang selama 7 tahun dirongrong oleh Turki kini berbalik menekannya dengan "kartu As" oposisi bersenjata Kurdi anti Erdogan yang menyatakan bergabung dengannya setelah merasa tertipu oleh AS. Israel yang jingkrak-jingkrak girang karena mengira keputusan Trump memindahkan kedubes AS ke Jerussalem sebagai isyarat makin protektifnya AS atas eksistensi ilegalnya sontak guncang dan mencak-mencak merasa dikhianati karena harus menghadapi mimpi buruk, Iran yang bertengger di Suriah.

Keputusan penarikan pasukan AS dari Suriah adalah indikasi dari perubahan skenario geopolitik serta kemenangan strategi Rusia dan Iran. Meskipun Trump mengklaim kemenangan, langkah ini lebih mirip dengan menyerahkan pengaruh kepada pemain lawan seperti Rusia dan Iran.

Para pejabat senior dalam lingkaran kebijakan Amerika menentang langkah itu karena menganggapnya sebagai pengakuan kalah yang mencoreng wajah AS depan sekutunya terutama Israel dan menyerahkan kendali Timur Tengah kepada Rusia dan Iran yang terus mengkonsolidasikan kehadirannya di kawasan itu.

Semula AS ingin mengubah rezim di Suriah tetapi telah meninggalkan rencana itu sejak lama, dan keputusannya untuk hadir mendukung komunitas Kurdi, menjadi keputusan setengah hati. Realitas geopolitik telah memaksa AS untuk akhirnya memutuskan penarikan.

Penarikan pasukan AS ini berbarengan dengan rencana invasi Turki ke wilayah Suriah karena bertujuan menumpas oposisi Kurdi yang didukung AS ini menkonfirmasi kekhawatiran Trump tentang konflik militer besar yang menurut kalkulasi ekonomi Trump tak sepadan dengan biaya politik domestik akibat tekanan publik. AS seolah mempersilakan Turki yang sedang dirayu AS agar menjauh dari Rusia untuk membantai milisi oposisi Kurdi di Seberang Eufrat yang dipersenjatainya.

Itu semua menyingkap bahwa dan biaya triliunan dolar yang dibelanjakan AS untuk tentaranya di Timur Tengah dan Afganistan adalah beban besar yang menurut Trump tak sepadan dengan keuntungan politiknya. Karena itu, Trump mengambil keputusan yang mengejutkan bagi para pejabat terdekatnya seperti Menlu dan Penasehat Keamanan Nasional-nya juga bagi banyak anggota Kongres dan Senat.

Trump jelas bebal menurut standar politisi di Kongres dan para sarjana politik di Harvard tapi setidaknya dia adalah pebinis yang realistis dan ingin terlihat sukses mengakhiri petualangan konyol di Suriah dan Timur Tengah. Viva Suriah!

Read more