"VOUCHER SORGA"

"VOUCHER SORGA"
Photo by Unsplash.com

Ada sebuah pertanyaan krusial dalam teologi, apakah kebaikan dan keburukan ditentukan oleh agama atau ditentukan oleh akal sehat. Sekelompok teolog menganggap apapun sebagai baik bila ditetapkan dan dianjurkan oleh agama, dan apapun sebagai buruk bila dilarang oleh agama. Sekelompok lain memastikan baik dan buruk bagi apapun sebagai produk akal sehat, termasuk memastikan agama sebagai baik.

Pandangan kelompok pertama meniscayakan nihilitas nilai kebaikan dan keburukan sekaligus memakzulkakan nalar dari fungsi dan eksistensinya. Pandangan kedua menetapkan nilai logika dan etika sebagai dasar keberagamaan yang tentu mendahuluinya.

Setelah menganggap agama sebagai penentu baik dan buruk, sekelompok orang membatasi agama pada keyakinannya semata.

Para developer sorga imajinal ini memastikan sorga sebagai tempat mereka bersama yang mengikuti mereka dan memvonis siapapun yang tak mendukungnya sebagai warga neraka.

Karena mindset visualisme, mereka memahami secara mentah ilustrasi sorga dan neraka sebagai dunia materi sembari mengira kebaikan dan keburukan ditentukan oleh tempatnya. Akal mereka hanya mampu memastikan siapapun yang masuk ke dalam sorga sebagai orang baik dan siapapun yang masuk neraka sebagai orang buruk sekaligus menetapkan kelompoknya sebagai baik dan selain mereka sebagai buruk.

Mereka terlalu bodoh untuk menyadari bahwa kebaikan ditentukan oleh sikap dan prilaku, bukan klaim iman yang tak bisa diverifikasi di dunia.

Mereka terlalu picik untuk memahami bahwa suatu tempat disebut sorga karena penghuninya, bukan karena kenikmatannya, dan disebut neraka karena penghuninya, bukan karena siksaannya. Di mana pun orang yang baik berada, itulah sorga. Di mana pun orang buruk bertempat, itulah neraka.

Ali yang dilantik sebagai jubir ilmu wahyu Nabi berkeluh kepada Tuhannnya, “Andaikan Kau masukkan aku ke dalam sorga namun Kau tak rela kepadaku, itulah neraka bagiku. Andaikan Kau masukkan aku ke dalam neraka dan Kau rela kepadaku, itulah sorga bagiku.” (Ali bin Abi Talib).

Siapapun yang tak selevel Ali dan jejiwa suci tak berhak sesumbar mengaku sebagai penghuni sorga, apalagi membagikan voucherhya kepada jelata-jelata yang hanya bisa beragama dengan penyesatan, pemPKIan dan hate speech lainnya.

Read more