VW: Dari Masa ke Masa
Dahulu aurat wanita sangat dijaga dan tidak ‘go public’ (seperti layaknya perusahaan perbankan dan telekomunikasi), tapi sekarang perlahan-lahan (tapi pasti) celana dalam wanita (CD) yang menjadi benteng terakhir kehormatan wanita, diturunkan derajatnya menjadi asesoris yang ‘mesti dilihat’ oleh siapapun yang punya mata. Sedemikian ‘lumrahnya’ celana dalam wanita seliweran di halte, mall dan ruang publik lainnya, sehingga yang dianggap aurat makin menyempit di wilayah V saja. Dengan kata lain, CD bukan aurat lagi, tapi V masih dianggap aurat.
Awal terkuaknya "kekejaman" celana dalam alias badong, yang dulu juga disebut Pita Venus, ini bermula di Pulau Falster, Denmark. Seorang dokter, sejarawan sekaligus penemu, Ole Worm (1588 - 1654) mengungkapkan, begitu ketatnya celana dalam logam ini, sampai ujung jari pun tidak bisa masuk ke celah antara bahan besi dan tubuh! Jika seorang istri yang malang mengenakannya ingin buang air, dia harus merengek dulu pada suami agar celana dalamnya dibuka. Pasalnya, untuk membukanya diperlukan kunci, dan kunci itu dipegang suami.
Teman dan kerabat wanita itu juga mengetahuinya secara kebetulan. Suatu ketika, pasangan itu mengundang mereka makan. Saat mabuk-mabukan, mereka meminta wanita itu menanggalkan pakaiannya. Para tamu terkejut melihat kenyataan itu. Mereka pun mengadukan kasus ini ke pengadilan dan suami si wanita itu pun dikucilkan.
Bergerigi
Kasus ini tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat biasa. Para wanita dari kalangan atas juga tidak bebas dari celana dalam kejam ini. Charlotte Aglae, putri Herzog von Orleans, yang terkenal sebagai wanita tercantik di zamannya, datang ke Italia untuk menikah dengan Herzog von Modena. Dia harus tunduk pada peraturan setempat, sehingga harus juga mengenakan pelindung seram itu.
Contoh paling jelas betapa kejamnya pria-pria di zaman Renaisans dan Barock yang memaksa istri-istri mereka memakai pelindung mengerikan itu adalah celana dalam milik Katharina von Medici (1519 - 1589). Badong pengaman milik wanita yang dikenal sebagai Ratu Prancis ini, terbuat dari ujung gading gajah, yang dikaitkan pada lingkar gelang besi oleh sebuah gesper. Untuk memperketat atau memperlonggar digunakan semacam penahan bergigi. Lingkar besi itu dibungkus dengan bahan sutera, agar tidak menimbulkan lecet. Lengkung ujung gading itu mengikuti kontur anatomis dan posisinya menutupi bagian kemaluan. Bagian ujung depan yang bercelah dan bergerigi dari alat "penyiksa" itu kini masih bisa disaksikan di Museum de Cluny di Paris. (http://www.indomedia.com)
Makna dan tujuan peralatan ini simpel, yakni hanya suami yang boleh menyentuh istrinya, karena istri dianggap sebagai "benda" milik pribadi suami. Itulah sebabnya wanita yang dinikahi sah saja "disimpan" dalam pelindung yang terbuat dari besi. Fantasi para suami ala Renaisans tidak hanya sebatas masalah hak milik, melainkan juga untuk menjaga penampilan. Wanita dianggap sebagai makhluk sembrono dan tidak baik, sehingga pria harus berjaga diri.
Istri, harta yang harus dilindungi
Insinyur Konrad Kyeser, yang mengupas "gembok" khusus ini panjang lebar dalam buku setebal 1.405 halaman, menyebutnya sebagai "sabuk Florentin" karena Florence dianggap sebagai tempat asal alat ini. Memang nama ini sangat cocok. Di kota pusat dagang yang megah di abad XV-an ini, orang tidak hanya ingin tercatat punya uang banyak, tapi juga memiliki harta. Termasuk "memiliki" istri.
Rupanya, sabuk kesetiaan yang menyedihkan ini tidak hanya terdengar di Venesia, Padua, Como, dan Bergamo, tapi juga dari seluruh daratan Eropa. Wanita-wanita Romawi maupun istri orang-orang kaya di Milano juga mengenakan alat ini. Hebatnya, mereka membuatnya dari emas dan perak, dihiasi pula dengan batu-batu permata mahal.
Sejarah mengenai "alat pelindung kesetiaan" tampaknya tidak lepas dari tingkah laku kaum pria yang ingin tampil hebat sekaligus punya kuasa. Pria macam begitu dianggap pria tulen, yaitu berhasil menaklukkan wanita "besi". Misalnya saja kisah si pahlawan perang (begitu memang dia ingin disebut) dan pembual Prancis, Claude Alexandre de Bonneval. Konon, suatu ketika dia terlibat dalam suatu petualangan cinta. Dia berhasil menaklukkan seorang wanita terkemuka dari Como. Konyolnya, jalan menuju kebahagiaan terhalang oleh celana besi. Terpaksa Bonneval membunuh suami wanita itu dalam suatu duel. Setelah itu, dia pun buru-buru kabur ke Wina, tempat dia menceritakan kisah petualangannya itu.
Dalam banyak kisah lain pun digambarkan, selama beberapa abad pelindung kesucian memegang peranan penting dalam hidup masyarakat terpandang. Novelis Italia, Antonio Cornazzano (1429 - 1484), misalnya, bercerita tentang seorang saudagar kaya, yang mempunyai istri cantik yang banyak diingini pria lain. Karena itu, sebelum melakukan pelayaran panjang dan lama, dia merasa perlu membuatkan istrinya sebuah pelindung kesetiaan.
"Semua wanita itu tidak stabil," tulis Raja Franz I, yang naik takhta Prancis tahun 1515, pada salah satu dinding kamar tidurnya. Sri Baginda memang sangat paham sifat ini karena dia banyak berkecimpung dalam petualangan cinta. Saat melakukan kampanye perang pun dia senantiasa membawa serta "pacar-pacarnya". Ada wanita Norman berkulit putih, ada wanita Afrika berkulit hitam, putri petani Skandinavia, dan wanita bangsawan, yang setiap saat siap melayaninya.
Nafsu erotis penguasa ini tampaknya tidak pernah terpuaskan. Ketika suatu saat dia merayu istri Baron d'Orsonvielliers yang sangat cantik, dia harus menerima kenyataan kalau wanita itu "terkunci". Walau demikian, Alessandro Neri, seniman pandai besi yang ikut bersamanya, memberinya jalan keluar. Dia menyorongkan tangan kanannya yang kuat masuk ke antara tubuh dan ikat pinggang wanita itu, yang berada terlindung dalam sebuah bantalan, dan berhasil melepaskan gembok.
"Ini bisa saja terjadi"
Dalam sejarah gairah seks di lingkungan kerajaan Prancis pada abad XVI, tergambarkan dengan jelas adanya kebutuhan pada gembok-gembok semacam itu. Alexander Schulz dalam bukunya Das Band der Venus, memperlihatkan sikap kaum wanita terhadap perlakuan ini. Para pria dianggap tidak punya perasaan, brutal, sementara para istri memperlihatkan keunggulannya di balik penampilan yang lemah lembut. Mereka mengenal tukang besi hebat, yang bisa menyediakan anak-anak kunci. "Mereka dapat dengan sesuka hati melakukan kesukaan mereka, tanpa sepengetahuan suami," tulis Schulz.
Sebagai contoh, gambar lambang keluarga Jerman, Melchior Schedel di tahun 1550. Lambang ini menggambarkan seorang wanita telanjang yang hanya mengenakan badong kesucian itu, dengan tangan satu mengangkat tinggi sebuah pundi-pundi uang, sementara tangan yang lain memegang sebuah anak kunci. Di gambar itu terdapat tulisan, "Ini bisa saja terjadi." Pada masa itu pun uang mampu membuat segala yang tidak mungkin menjadi mungkin.
Hal serupa terlihat pada sebuah cetakan lempeng tembaga berukir keluaran abad XVII. Di kaki tempat tidur duduk seorang wanita tanpa busana, cuma mengenakan celana dalam kesetiaan, tengah menyerahkan kunci pelindung dari besi itu pada suaminya yang siap pergi. Tanpa sepengetahuan suaminya, di balik tirai, tampak sudah menunggu kekasih gelapnya. Di samping si kekasih tampak Mak Comblang yang sudah siap dengan kunci duplikat di tangannya.
Percintaan gaya istana
Kaum suami yang memasung istri-istri mereka dengan badong kesetiaan, menurut pandangan dua ahli sejarah Prancis, Philippe Aries dan Georges Duby, ada hubungannya dengan rasa khawatir mereka terhadap pria lain. Mereka meyakini, organ kelamin wanita (kebalikan milik pria) bersifat sangat pribadi, dan tersembunyi, karenanya harus dijaga dengan baik.
Bagian tubuh itu senantiasa dianggap dalam bahaya. Bisa sangat menggoda, sehingga menempatkan si suami dalam risiko kehilangan kehormatan. Apalagi kalau si wanita sangat menarik.
"Wanita itu makhluk pesolek, sembrono. Kalau di rumah kita banyak wanitanya, hati-hati." Demikian pemahaman umum masa itu. Maka, pada usia sekitar 12 tahun, anak gadis harus mulai dipingit dan diawasi ketat oleh ayah maupun saudara laki-lakinya. Jangan biarkan mereka berplesiran, ngomong bisik-bisik, mejeng di depan jendela terbuka! Sebaliknya, tekankan soal kemurnian, kesopan-santunan, keramahan, kehormatan, serta rajin dan bekerja tenang, agar si "makhluk kurang pikiran" ini bisa mengusir godaan.
Di abad XIV para gadis di lingkungan masyarakat menengah sudah dinikahkan pada usia 16 tahun, tanpa pemikiran akan kebahagiaan maupun perkembangan diri si anak.
Tanpa disadari, kebiasaan ini mengakibatkan tumbuhnya moralitas ganda para wanita di masa setelah pernikahan. Dalam buku Liebessitten der Volker, Paul Frischauer menggambarkan apa yang disebut "percintaan gaya istana", yang dianut para wanita istana. Ketidaksetiaan dan perselingkuhan yang mereka lakukan berpegang pada buku seni bercinta penyair Romawi, Ovid (43 SM - 17 SM). Dalam buku itu disebutkan, kesetiaan jiwa-raga seorang wanita tidak berlaku utuh bagi suaminya. Sesuai dengan semangat zaman itu, paling tidak dia boleh melayani seorang kekasih. Sebagai imbangan, pasangannya juga boleh menikmati kesenangan dengan wanita lain.
Guillame de Mauchault, seorang sastrawan Prancis di abad XIV, menggambarkan dalam sebuah syair, seorang wanita cantik tengah memeluknya sambil memberikan sebuah anak kunci dari emas. "Sudah aman!"
Kekejaman kepada istri digambarkan pula dalam roman percintaan karya pengacara Nicolas Chorier dari Grenoble. Alkisah, Juliane tak lama setelah malam perkawinannya, dipaksa oleh suaminya, Jacondus, untuk mengenakan celana dalam khusus.
"Apa itu yang kau pegang? Kok saya seperti melihat emas yang berkilauan! Apa yang harus saya lakukan dengan itu?" tanya Juliane. Ternyata, suaminya memaksa dia memakai badong, dan mengunci "celana dalam kesetiaan" itu. Alat yang terdiri atas tiga lapis lempeng besi itu menempel begitu ketat, sampai ujung jari pun tidak bisa masuk antara celah besi dan tubuh.
"Sekarang sudah aman!" kata si suami puas. Padahal, dengan sabuk itu, istri mengalami kesulitan berjalan. Karena untuk itu, kedua kakinya harus dalam posisi berjauhan, agar tidak lecet. Komentar si suami cuma, "Mula-mula memang begitu. Lama-lama kamu akan biasa!"
Di abad XIX, masih ada juga yang menganggap perlunya alat pengaman kesetiaan wanita itu. "Di zaman serba tidak beres ini, di mana banyak suami yang ditipu, saya rasa, ada sesuatu yang harus dilakukan. Saya rasa, yang paling cocok untuk itu adalah alat pelindung 'Edozones', sabuk kesetiaan," begitu menurut seorang penyair di zaman itu. Alat yang diajukan terbuat dari bahan mewah, yaitu dari perak, yang harganya sekitar 320 Franc.
Badong plesir di Copacabana
Apakah sekarang benda sejenis masih bisa ditemukan? Sejak akhir abad XIX memang tidak lagi terdengar cerita alat dari Florence, celana dalam kesetiaan, pita Venus, dll. Tentu saja zaman sekarang tidak ada lagi wanita yang bisa dipaksa mengenakannya. Walau demikian, konsep benda ini tetap ada. Bukan lagi berupa benda yang mengerikan, melainkan sebagai suatu batasan, terutama dalam sikap dan aturan.
Kesetiaan yang dimaksud bukan lagi dengan cara yang sudah kuno itu, melainkan suatu realisasi, yang juga mencakup pengertian kesetiaan dalam seks. Kesetiaan merupakan syarat mutlak dalam hubungan suami istri, sehingga ketidaksetiaan bisa dianggap sebagai suatu penolakan terburuk, bisa membuat hubungan terputus alias cerai.
Namun sebagai suatu benda, di zaman sekarang ternyata masih ada yang ingin membangkitkan "pelindung kesetiaan" ala nenek moyang itu. Di Rio de Janeiro, seorang wanita pemilik butik memperkenalkan sebuah badong khusus buat berplesiran di pantai Copacabana - terbuat dari lempengan besi tipis dengan diberi lapisan bahan. Dengan tujuan berbeda, di Bandung seorang sarjana teknik industri, Simon Y. Sanjaya, memproduksi korset dari lempengan stainless steel untuk melindungi pemakainya dari risiko tindak perkosaan.
Namun, benda ini mendapat kecaman keras dari tokoh pembela hak wanita. Sandra Cortes, misalnya, mengatakan, "Bisa-bisa para suami akan memaksa istri memakainya. Ini berarti posisi wanita Brasil yang sudah tertekan akan makin buruk!" Rupanya pemilik butik termakan juga dengan pernyataan ini, dan bernjanji untuk kreasi berikutnya benar-benar berupa sensasi tulen: celana dalam kesetiaan buat para suami.
Sedangkan di Indonesia, pembela hak-hak wanita menyatakan, hadirnya korset pengaman buatan Simon merupakan suatu bentuk pelecehan terhadap kaum wanita. Yang pasti, pembuatannya telah mencoba melindungi kaum wanita dari tindak pemerkosaan dengan cara dan kemampuannya sendiri. (Xn)