Skip to main content

Wali dan Anatomi Maknanya

Kata “waali” (والي) dalam bahasa Arab yang dipakai dalam konteks waali Kufah (والي الكوفة) yang berarti gubernur Kufah juga waali Basrah (والي البصرة) adalah kata Arab yang bentuk jamaknya adalah وُلاة (wulaat).

Kata Waali (dengan alif setelah wau) ini dipakai dalam Al-Qur’an sekali saja yaitu pada Surah Ar-Ra’d ayat 11 yang bunyinya: لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ ۗ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ ۚ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”

Kata wali pada ayat tersebut di atas bermakna “pelindung”.

Kata waliyy yang banyak disebut dalam Al-Qur’an termasuk dalam surah Al-Maidah ayat 51, adalah kata wali (tanpa alif) yaitu “وليّ ” yang bentuk jamaknya adalah awliya ( اولياء) yang bisa bermakna kekasih, pengayom/pelindung, pengurus atau pemimpin dan sama sekali tidak bermakna penguasa.

Sedangkan waliyy yang bermakna “pemimpin” disebutkan dalam Al-Qur’an pada Surah Al-Maidah ayat 55 mengunci makna kepemimpinan untuk tiga pihak. Pilkada dan pilpres bukanlah ajang memilih pemimpin dalam pengertian ini.

Mari kita simak ayat tersebut. إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ Sesungguhnya pemimpin kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka ruku’.

Kata “إنَّما” di awal ayat ini berarti “hanya”. Pembatasan Itu adalah petunjuk yang jelas, bahwa menurut Al-Quran tidak ada pemimpin kecuali pihak-pihak yang disebutkan dalam ayat tersebut yaitu, Allah, RasulNya dan orang beriman dengan kondisi khas seperti yang tertera dalam ayat itu. Melihat frasa “wali” pada ayat diatas, bisa kita simpulkan bahwa kriteria kepemimpinan dalam Al-Qur’an bahkan menuntut lebih dari sekadar muslim atau mukmin saja.

Karena pemimpin menuntut ketaatan yang mutlak dari pengikutnya, karena posisi yang disejajarkan dengan ketaatan pada Allah dan RasulNya, maka selain harus muslim dan mukmin dia juga harus suci yang berarti terjaga dari kesalahan dan dosa. Tanpa syarat kesucian, ajaran suci tak akan terjaga dalam kesucian.

Ketaatan vertikal inilah yang ditekankan dalam Surah An-Nisa ayat 59 yang berbunyi: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا “ “Hai orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Atas dasar itu, polemik dan kontroversi seputar isu surah Al-Maidah ayat 51 ataupun ayat lain yang mengandung kata waliyy atau awliya yang dijadikan dalil dilarangnya memilih gubernur non muslim tidaklah akurat dari berbagai sisi, karena alasan-alasan sebagai berikut:

  1. Berdasarkan istilah Al-Qur’an posisi gubernur bukanlah pemimpin karena ia merupakan produk kontrak sosial dalam sebuah konstitusi.
  2. Makna pemimpin menurut Al-Qur’an sudah dibatasi dan bukan sebagai subyek pilihan, karena syarat kesucian yang membatasinya sebagai konsekuensi posisinya yang sakral. Selama bukan Allah atau RasulNya atau dan bukan mukmin par excellent, maka tidak ada yang berhak mecalonkan diri ataupun dicalonkan sebagai pemimpin, apalagi dipilih.
  3. Salah satu dari sifat yang wajib dimiliki oleh pemimpin yag telah ditetapkan oleh Allah adalah suci atau kesucian. Syarat keharusan muslim atau mukmin saja tidaklah cukup, karena posisinya yang sakral, transenden dan vertikal di bawah Allah dan Rasul. Auliya di surah Al-Maidah ayat 51 bermakna kawan, bukan pemimpin, karena a) Kata تتخذوا (menjadikan) mengkonfirmasi bahwa yang dipilih bukanlah pemimpin sakral; b) Waliyy tanpa alif digunakan dalam Al Quran untuk beberapa makna termasuk pemimpin.

Sementara makna pemimpin sudah dikunci dengan innamaa waliyyukumullah. Sama sekali tidak tepat kalau awliyaa diartikan pemimpin, karena pemimpin adalah Allah dan rasulNya sebagaimana ditegaskan dan dibatasi dengan انما yang meniscayakan pembatasan ekslusif. Bagaimana kita sekarang bisa membayangkan orang muslim memilih orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin di zaman Nabi, sehingga perlu sebuah larangan dari Allah.

Tidak dibayangkan terbersit dalam benak para sahabat Nabi terbersit di untuk memilih pemimpin Yahudi dan Nasrani di zaman Nabi. Sahabat tentu tidak mungkin punya kehendak buruk menggulingkan kepemimpinan Nabi dan menggantinya dengan orang nasrani dan yahudi. Jelaslah surah larangan dalam ayat 51 surah al-Maidah tidak ditujukan dalam persoalan kepemimpinan. Kata waliyy atau bentuk pluralnya awliyaa dalam istilah Alquran bisa bermakna pemimpin yang wajib ditaati, kekasih yang disayangi, penolong atau sekedar pewaris Ayat 51 almaidah menjelaskan bahwa makna yang dimaksud di situ bukan pemimpin melainkan teman yang disayangi sebagai lawan dari kata waliyyullah yang kekasih Allah.

Di luar konteks ayat suci, wali adalah kata predikatif yang kata bendanya adalah al-wilayah (الولاية) yang berarti kewenangan, kekuasaan dan kepemimpinan. Bila hendak memberikan makna yang luas sehingga mencakup pemimpin dalam al-Ouran, dan pemimpin di luar al-Quran, maka kepemimpinan dapat dibagi dua; a) kepemimpinan sakral karena fungsinya adalah mengawal agama seperti nabi; b) kepemimpinan profan karena fungsinya adalah menata individu2 dalam sebuah kontrak sosial yang dilembagakan berupa negara, perusahaan dan lainnya.

Otoritas vertikal atau kepemimpinan sakral bersumber dari divine legitimacy alias penentuan Tuhan. Inilah arti kepemimpinan dalam al-Quran. Sedangkan otoritas horisontal atau kepemimpinan dalam kontrak sosial terbentuk oleh akseptabilitas publik. Idealnya adalah sosok yang memegang dua fungsi kepemimpinan dan otoritas tersebut. Tapi bila tidak ada atau tidak disepakati, maka akseptabilitas publik adalah dasar kriteria pemilihan.

Baca juga:

TAFSIR ALTERNATIF AYAT 51 SURAT AL MAIDAH (VIDEO)

POLARISASI SYIAH DALAM PILKADA DKI