WARGA NEGARA DAN WARGA DUNIA

Berdasarkan pengalaman-pengalaman, mengangkat dan mengeluhkan fenomena sosial yang buruk seperti diskriminasi keyakinan dan etnis, mengkritik kebijakan publik yang jelas salah dan mempertanyakan penegakan hukum yang tidak adil tidak memberikan banyak efek kalau tidak memberikannya sama sekali, bahkan mungkin justru mengundang reaksi negatif yang lebih besar.
Faktanya, isu apapun baik yang mencuat atau dicuatkan, niscaya membesar, meluas dan semakin kusut. Individu-individu dil dalamnya, apapun posisi sosial dan kecenderungannya masing-masing tak pernah absen untuk memberikan tanggapan.
Yang menggelikan juga menyedihkan, yang boleh jadi inilah salah satu penyebab kemunduran dan kegagalan kolektif satu bangsa, adalah mengakarnya budaya perundungan dan saling hujat dalam konteks politik seolah setiap individu punya hak untuk melakukannya tanpa secuilpun toleransi, rasa empati, penghargaan proporsional yang mstinya mendorong setiap individu menyediakan margine of error atau kemungkinan salah dalam sikap dan pernyataan.
Kritik yang konstruktif merupakan bagian penting dari proses demokrasi dan pembangunan masyarakat yang inklusif dan progresif. Namun, dalam realitas sosial yang kompleks dan diwarnai oleh polarisasi serta budaya perundungan, mungkin membatasi diri untuk tidak terjun terlalu jauh dalam arena lomba pemihakan politik dan yang serba relatif, dinamis dan pragmatis bahkan dan menjaga jarak dari interaksi intens dengan lingkungan sosial yang kecanduan adrenaline saling memperkuat identitas kelompok yang tak bebas dari intrik, kepura-puraan, dusta, manipulasi dan tendensi-tendensi kepentingan yang bertabrakan, seraya fokus pada target realistis dan proporsioal dalam menjaga dan mempertahankan hak paling minim dan fundamental sebagai prioritas adalah langkah yang perlu diambil, terutama oleh individu-individu yang secara politik tak punya akses otoritas, tak punya modal sosial sebagai tokoh atau bagian dari mayoritas.
Individu-individu terpinggirkan dan dibatasi haknya secara sosial dan kultural oleh konvensi dan relasi kuasa primordial untuk ikut berpartisipasi karena merasa mampu dan punya moral kepedulian mestinya menerima dengan kearifan fakta compang camping ini dan menyerahkan kepada mereka yang merasa paling berhak memikirkannya.
Fenomena kompleks tersebut, menurut Teori Identitas dan Konflik, merupakan bagian integral sebuah masyarakat yang kehilangan spirit sebagai satu entitas yang padu dan solid karena menjadikan identitas yang lebih sempit sebagai cara mengekspresikan eksistensi yang kerap kali dibanggakan saat berhadapan dengan kelompok lain.
Identitas kelompok dalam membentuk persepsi individu tentang diri mereka sendiri dan kelompok mereka. Identitas ini dapat meliputi faktor seperti agama, etnisitas atau orientasi politik.
Menurut Erich Fromm, dalam "The Sane Society", ketika identitas kelompok menjadi semakin sentral dalam pandangan individu, polarisasi antara kelompok-kelompok memperkuat perbedaan-perbedaan antara kelompok, serta mendaur ulang isu-isu konflik.
Ketika identitas kelompok saling bersaing atau bertentangan, konflik antara kelompok-kelompok atau intimidasi, diskriminasi bahkan upaya penghapusan terhadap kelompok yang lebih kecil terjadi.
Inilah yang mungkin mendorong individu-individu realistis di luar masyarakat yang sibuk berpolemik bahkan kecanduan berkonfik, meredenifinisi nasionalisme dengan pemekaran makna dan kontekstualisasi yang lebih elastis, rasional dan proporsional atau sepadan dengan hak minim yang tersisa untuk dipeliharanya, bukan lagi doktrin emosional, primordial dan tak berbatas.
Sebagian dari mereka, terutama yang inklusif dalam literasi dan interaksi yang lebih luas, memilih kosmopolitanisme sebagai paradigma memakanai diri dan identitasnya sebagai warga dunia. Perlawanan terhadap kezaliman global dan dan bergabung dengan para penunut kemerdekaan di wilayah jauh sekalipun sebagai partisipasi dalam gerakan perubahan adalah salah satu ciri khas paradigma ini.
"Be the change that you wish to see in the world." - Mahatma Gandhi