Belakangan ini agresi dengan dalih pembelaan agama yang disebut “kekerasan” atas nama agama di Indonesia kian mencolok. Ada yang seenaknya melakukan razia dan ‘main hakim’ sendiri dengan dalih amar makruf dan nahi munkar. Ada yang gemar mengkafirkan dan menjatuhkan ‘fatwa mati’ atas setiap orang yang mengeluarkan pendapat yang berbeda dengan pandangan keagamaannya. tentang agama. Ada pula yang secara berencana melakukan provokasi untuk membumihanguskan pemukiman, sekolah dan pemakaman minoritas, seperti yang terjadi di beberapa kota di Tanah Air.
Karakter agresi tidak hanya tertanam dalam pelaku dan pengamal agama, namun secara objektif tertanam dalam doktrin-doktrin yang merupakan produk interpretasi sepihak dari teks-teks utama agama. Sejarah Islam pernah menjadi saksi munculnya sejumlah kelompok yang secara terang-terangan menjadikan agresi sebagai bagian dari semangat pembelaan agama, seperti Khawarij pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib. Di zaman modern, ketika Taliban dan Alqaeda muncul dengan aksi-aksi pemboman dan teror di Irak dan Afghanistan, kita juga menemukan agresi kelompok ini bersumber dari sejumlah doktrin yang diajarkan oleh Wahabisme. Agersi ala Wahabisme bersifat gradual dan memiliki intensitas yang beragam mengikuti konteks dan situasinya. Pada mulanya agresi Wahabisme hanya bersifat verbal sperti penggunaan secara berlebihan kata “syirik”, “bid’ah”, dan khurafat sebagai vonis terhadap kelompok di luar Wahabisme. Dalam situasi tertentu agresi Wahabisme dimunculkan sebagai semangat untuk mengambil alih sentra-sentra keagamaan kelompok non Wahabisme, misalnya menguasai masjid yang dibangun oleh kalangan NU di sejumlah tempat dan daerah di Indonesia. Pada situasi tertentu Wahabisme bisa meningkatkan agresinya menjadi fisikal dan menjadikan selain mereka sebagai target. Inilah yang mesti diwaspadai.
Lahirnya kelompok-kelompok yang cenederung menggunakan ‘kaca mata kuda’ dalam memahami teks agama semestinya harus disikapi secara tegas oleh negara, para pemuka agama, para intelektual dan seluruh elemen masyarakat demi mengantisipasi terjadinya anarkisme dan chaos yang tak pelak akan membuat bangsa ini makin terpuruk.
Eskalasi kekerasan yang begitu tinggi dalam beberapa tahun terakhir, sejatinya harus dilihat sebagai pelajaran berharga bagi masyarakat beragama, bahwa agama belum berfungsi secara maksimal untuk meredam kekerasan. Karena itu, kita, terutama para pemuka agama harus aktif mengangkat doktrin-doktrin sintesis yang menghendaki perdamaian. Memang, deskripsi keagamaan selama ini belum memberi perhatian serius pada “teologi perdamaian”. Akibatnya, masyarakat dunia mengalami krisis perdamaian, sebab eksperimentasi keagamaan yang dimunculkan sering mengangkat kebencian pada yang lain dan perang suci sebagai jalan terbaik.
Semua agama jelas-jelas menolak kekerasan secara definitif. Ia tidak pernah diterima sebagai prinsip bertindak. Kekerasan senantiasa amoral karena selalu mengandaikan pemaksaan kehendak, dan karenanya melanggar asas kebebasan dalam interaksi sosial. Padahal, manusia bebas secara moral. Ia punya kemampuan untuk bebas menentukan setiap pilihannya. Tapi, persoalan hubungan keduanya justru terletak pada pertimbangan-pertimbangan etiko-religius untuk mempraktikkan kekerasan. Ironisnya, dalam perspektif itu, kekerasan tak lagi dinamai kekerasan melainkan jihad, atau pembelaan diri, dan sejenisnya. Hal ini makin rumit jika ia dipraktikkan dengan legitimasi etiko-religius, atau sekedar dengan label agama demi ambisi-ambisi non-religius. Kalau frekuensi kekerasan berlabel agama ini meninggi –bahkan menjadi pola atau prinsip— dengan intensitas yang mendalam, sesungguhnya agama dalam keadaan gawat darurat. Ia tak lagi pantas menyandang nama agama
Pengahayatan terhadap agama masing-masing dan kesadaran tentang perbedaan antara agama suci dan persepsi subjektif tentang agama itu sendiri mungkin dapat dijadikan salah satu cara alternatif untuk meredam kekerasan struktural atas nama agama, mazhab dan paham keagamaan.
Apa jadinya bila negosiaasi digusur oleh konfrontasi, argumentasi dibalas teror, dan dialog diubah dengan fatwa murtad! Tidakkah semestinya energi dan semangat anti terhadap minorias agama dan mazhab diubah menjadi semangat penolakan terhadap kezaliman yang dilakukan oleh para koruptor yang telah menggerogoti bangsa ini tanpa sedikitpun rasa malu?