Skip to main content

Seorang ustadz dikecam oleh sebagian orang karena dianggap menghina budaya lokal warisan leluhur setelah melarang atau mengharamkan wayang. Sayangnya, karena pernyataan tentang wayang dipersonalisasi juga dialihkan kepada sentimen anti suku tertentu, persoalan utamanya yaitu pengharaman wayang pun menguap.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Wayang adalah boneka tiruan orang yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu dan sebagainya, yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh pada pertunjukan drama tradisional (Bali, Jawa, Sunda, dsb), biasanya dimainkan oleh seseorang yang disebut dalang (Pusat Bahasa, 2008).

Pengertian Wayang
Wayang merupakan salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol diantara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan seni perlambang. Budaya wayang yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan. Berikut adalah penjelasan seputar pengertian wayang, fungsi wayang serta kandungan yang terdapat pada wayang dan Jenis-Jenis Wayang.

Pengertian Wayang Secara Filosofis Wayang merupakan bayangan, gambaran atau lukisan mengenai kehidupan alam semesta. Di dalam wayang digambarkan bukan hanya mengenai manusia, namun kehidupan manusia dalam kaitannya dengan manusia lain, alam, dan Tuhan. Alam semesta merupakan satu kesatuan yang serasi, tidak lepas satu dengan yang lain dan senantiasa berhubungan. Unsur yang satu dengan yang lain di dalam alam semesta berusaha keras ke arah keseimbangan. Kalau salah satu goncang maka goncanglah keseluruhan alam sebagai suatu keutuhan (system kesejagadan).

Secara umum, pengertian wayang adalah suatu bentuk pertunjukan tradisional yang disajikan oleh seorang dalang, dengan menggunakan boneka atau sejenisnya sebagai alat pertunjukan.

Fungsi dan Historisitas Wayang

Wayang sebagai penggambaran alam pikiran Orang yang dualistik. Ada dua hal, pihak atau kelompok yang saling bertentangan, baik dan buruk, lahir dan batin, serta halus dan kasar. Keduanya bersatu dalam diri manusia untuk mendapat keseimbangan. Wayang juga menjadi sarana pengendalian sosial, misalnya dengan kritik sosial yang disampaikan lewat humor. Fungsi lain adalah sebagai sarana pengukuhan status sosial, karena yang bisa menanggap wayang adalah orang terpandang, dan mampu menyediakan biaya besar. Wayang juga menanamkan solidaritas sosial, sarana hiburan, dan pendidikan.

Mengenai asal-usul wayang ini, di dunia ada dua pendapat. Pertama, pendapat bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Pendapat ini selain dianut dan dikemukakan oleh para peneliti dan ahli-ahli bangsa Indonesia, juga merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat. Di antara para sarjana Barat yang termasuk kelompok ini, adalah Hazeau, Brandes, Kats, Rentse, dan Kruyt. Alasan mereka cukup kuat. Di antaranya, bahwa seni wayang masih amat erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia, khususnya orang Jawa. Panakawan, tokoh terpenting dalam pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong, hanya ada dalam pewayangan Indonesia, dan tidak di negara lain. Selain itu, nama dan istilah teknis pewayangan, semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna), dan bukan bahasa lain.

Sementara itu, pendapat kedua menduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka antara lain adalah Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings, dan Rassers. Sebagian besar kelompok kedua ini adalah sarjana Inggris, negeri Eropa yang pernah menjajah India. Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pewayangan seolah sudah sepakat bahwa wayang memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali tidak diimpor dari negara lain. Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indonesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja Kahuripan (976 -1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmur-nya. Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X. Menurut pendapat yang populer, wayang mulai dikenal dan berkembang di Nusantara sejak 1500 SM sebagai bagian ritual.

Seiring perkembangan zaman, wayang tetap bertahan hidup dan terus mengalami perkembangan yang dipengaruhi oleh agama, serta nilai-nilai budaya yang masuk dan berkembang di Indonesia. Proses akulturasi ini berlangsung sejak lama sehingga seni wayang memiliki daya tahan dan daya kembang tinggi.

Wayang dan Penyebaran Islam

Pada mula awal penyebaran agama Islam, wayang dijadikan media dakwah dengan penambahan tokoh-tokoh, pengembangan cerita, termasuk penyesuaian jalan cerita sehingga tidak bertentangan dengan ajaran agama. Bahkan, pada era yang lebih modern, wayang lantas digunakan sebagai media propaganda politik.

keberhasilan wayang sebagai media dakwah dan syiar Islam pada zaman Walisongo terletak pada kekuatan pendekatannya terhadap masyarakat. Wayang mampu mengenalkan Islam kepada masyarakat yang saat itu animisme, dinamisme, serta menganut Hindu, karena menggunakan pendekatan psikologi, sejarah, paedagogi, hingga politik.

Dulu, wayang dipertunjukkan di masjid, masyarakat bebas untuk menyaksikan, namun, dengan syarat, mereka harus berwudhu dan mengucap syahadat dulu sebelum masuk masjid,.

Walisongo menggunakan pendekatan melalui kebudayaan dan kesenian untuk menunjang keberhasilan Islamisasi. Misalnya, Sunan Kalijaga dalam melakukan dakwah secara luwes karena masyarakat Jawa saat itu masih menganut kepercayaan lama. Sunan Kalijaga mendekatkan diri ke dalam masyarakat yang masih awam. Selain itu, Sunan Kalijaga mengenakan pakaian adat Jawa setiap hari dengan menggabungkan unsur Islam. Terdapat alasan Sunan Kalijaga menggunakan pakaian tersebut karena apabila mengenakan jubah dikhawatirkan dapat menimbulkan rasa takut masyarakat dan merasa enggan untuk menerima kedatangannya. Salah satu hal yang dapat dikatakan unik ketika Sunan Kalijaga merebut simpati masyarakat terlebih dahulu agar mau menerima agama Islam. Selanjutnya, beliau menjelaskan kepada masyarakat mengenai agama Islam dan menasehati untuk meninggalkan adat dan kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Akan tetapi, kebudayaan dan kesenian yang sekiranya dapat ditanamkan unsur ajaran Islam akan dipertahankan serta digunakan sebagai media dakwah oleh Sunan Kalijaga. Ia kerap memakai nama samaran, seperti “Ki Dalang” karena kemampuan beliau dalam mengajarkan Islam kepada masyarakat melalui pertunjukan kebudayaan dan kesenian.

Hukum Islam tentang Wayang

Menurut mazhab Maliki: diharamkan melukis dalam empat kondisi: 1) mengambar binatang; 2) bertubuh. Bila tidak, tidak dilarang. Bila tidak bertubuh, terjadi perselisihan; 3) memuat anggota penuh; 4) berbayang. Menurut mazhab Syafi’i: Dibolehkan melukis selain binatang. Dan setelah dilukis, bila bertubuh, tidak boleh menontonnya kecuali tidak lengkap. Tidak diperbolehkan menonton lukisan tak bertubuh yang digantung didinding Diperbolehkan menonton bayang-bayang tak berdimensi di layar. Menurut mazhab Hanbali: melukis selain binatang diperbolehkan. Tidak diperbolehkan melukis binatang, kecuali diletakkan di atas kain. Menurut mazhab Hanafi, melukis hewan diperbolehkan, tetapi tidak diperbolehkan melukis hewan kecuali lukisan di atas kain yang dihampar atau lukisannya tidak lengkap. (Al-Mustanad , vol. 14, hlm 106-108; Al-Mukhtalaf, vol. 7, hlm 44; Jami’ Al-Maqashid, vol 4, hlm 23 dan As-Sara’ir, vol 2, hlm 215)

Bila disandarkan pada fikih Ja’fari, karena tidak berbentuk patung atau boneka utuh, bahkan bentuknya tidak menyerupai manusia pada umumnya, memainkan wayang tidak dilarang. Demikian juga memahat, memotret, dan menggambar makhluk yang tidak berjiwa mestinya tidak dilarang dan tidak diharamkan. Tidak tidak ada salahnya menampilkannya secara teatrikal sebagai media edukasi publik.