YANG MESTINYA DAN YANG TERJADI

YANG MESTINYA DAN YANG TERJADI
Photo by Unsplash.com

Tulisan yang paling banyak kita baca terutama di akun-akun media sosial berisikan petuah, nasihat, kutipan kebijakan, motivasi, ajakan dan anjuran berbuat baik, berlaku jujur, adil dan sebagainya yang semuanya dapat diringkas dalam "yang semestinya. Tapi, hampir semua itu tidak terbukti dalam realitas kehidupan individual dan komunal. Kejahatan dalam segala dimensi, level dan metodenya tetap menjadi "yang terjadi".

Ternyata, masyarakat beragama sendiri menyadari betapa sulitnya menghadirkan apa yang diyakininya dalam kehidupan nyata. Karena itu, puas dengan berlomba dalam berbagi, berdialog, berdebat bahkan berkonflik memperebutkan apa yang semestinya. Karena merasa belum mencapai titik temu tentang "yang semestinya", maka belum beranjak ke "yang terjadi". Polemik berlanjut laksana opera sabun. Ia bahkan sudah menjadi lifestyle dan budaya komunikasi digital semata. Boleh jadi sengaja berkutat dengan polemik karena sadar bahwa menerapkannya dalam praktik nyata berarti terikat oleh otoritas alias kepatuhan.

Kejahatan, bencana, kemiskinan dan semacamnya pada umumnya tak dianalisis berdasarkan fakta natural tapi dihubungkan dengan takdir, dosa, kutukan dan narasi-narasi fatalistik dengan menimpakannya atas manusia sebagai penyebab seolah menjadi advokat Tuhan.

Sebagian berangan-angan semuanya sepakat tentang "yang mestinya" dan bersaing dalam usaha meyakinkan siapapun untuk menerima pandangannya tentang "semestinya". Sebagian sudah merasa puas dengan "yang semestinya" tanpa perlu melakukan komparasi. Sementara sekelompok orang mulai jenuh dengan kegaduhan tak berhingga ini seraya menganggap apa yang selama ini dipahaminya dan diyakini hanya untuk diyakini sebagai idea, bukan untuk diterapkan, agama untuk diyakini dan realitas untuk dialami. Pandangan ketiga belakangan ini kian membesar.

Di luar hiruk pikuk masyarakat beragama, sebagian orang karena tak sabar menanti hadirnya "yang semestinya" dalam "yang terjadi" mengambil jalan pintas memasuki mistisisme demi menikmati traktat-traktat dan puisi-puisi esoterik yang menjauh dari debu dan asap di bumi.

Agama selamanya menjadi "semestinya. Tapi manusia dapat meghadirkannya sebagai "yang terjadi" bila didasarkan pada otoritas dan kepatuhan yang diterima dengan kesadaran dan kerelaan dengan segala konsekuensi dan risikonya. Saat itulah ia menjadi budaya, bukan hanya wacana. Itulah agama yang dialami.

Tantangan utama dan terberat orang-orang beragama adalah menghubungkan "yang semestinya" dengan "yang terjadi".

Masalahnya, apakah semua yang beragama memahami epistemologi agama?

Read more