Aneh bila orang yang dihormati berkat kepakaran yang dibangun dari modal ilmu-ilmu alat (kesusatreraan dan gramatika, morfologi bahasa Arab seperti nahwu, sharf, balaghah dengan tiga cabangnya dari aneka buku referensial dari Imrtihi, Ujrumiyah, Qothrun-Nada, Alfiyah Ibn Malik dengan ragam syarh comment dan interpretasi serta hasyiyah atau caping hingga Mughnil-Labib karya Ibnu Hisyam dan Al-Kitab karya Sibawayh, dan kitab-kitab Aqidah atau Kalam), Fiqh, Ushul Fiqh, Tafsir yang seluruhnya ditulis dalam bahasa Arab dan dinyatakan lulus sebagai sarjana dengan ijazah berbahasa dari universitas di sebuah negara Arab dengan beasiwa dari Pemerintahnya, lalu memimpin organisasi bernama Arab dan berksara Arab), terkesan menghujat apapun yang terasosiasi dengan Arab dan merendahkan budaya Arab dengan stereotipe totalisasi seolah tak ada setitikpun kebaikan di dalamnya.

Akulturasi Budaya, Identitas, dan Dinamika Penyebaran

Setiap agama lahir dalam konteks ruang dan waktu yang spesifik, terikat erat dengan budaya, bahasa, dan masyarakat di tempat asalmuasalnya. Tempat kelahiran agama bukan sekadar lokasi geografis, melainkan ruang sosio-kultural yang membentuk inti ajaran, ritual, dan identitasnya. Dari Hinduisme di lembah Sungai Indus hingga Kristen di Mediterania Timur, agama-agama besar dunia menyimpan DNA budaya tempat mereka pertama kali diwartakan. Fenomena ini bukan kebetulan, melainkan konsekuensi logis dari interaksi antara wahyu, manusia, dan lingkungannya. 

Agama sebagai Cermin Budaya Lokal
Setiap agama dibangun di atas fondasi budaya masyarakat yang melahirkannya. Bahasa, tradisi, nilai sosial, dan sistem kepercayaan lokal menjadi medium yang menghubungkan pesan transendental dengan realitas manusiawi. 

1. Hinduisme & Budaya India
Kitab Veda, sistem kasta, dan konsep dharma tak terpisahkan dari struktur sosial India Kuno. Ritual seperti yajna (persembahan api) dan simbolisme dewa-dewi seperti Siwa dan Wisnu mencerminkan kosmologi dan filsafat yang berkembang di anak benua India. Bahasa Sanskerta, sebagai medium suci, menjadi jembatan antara manusia dan yang ilahi. 

2. Konghucu & Kearifan Tiongkok
Ajaran Konghucu tentang _Ren_ (kemanusiaan) dan Li (tata krama) berakar pada sistem nilai Dinasti Zhou. Ritual penghormatan leluhur dan penekanan pada harmoni sosial mencerminkan budaya Tiongkok yang hierarkis dan kolektivis. Kitab Lima Klasik (Wu Jing) ditulis dalam bahasa Mandarin Kuno, mengabadikan kearifan lokal yang dianggap sakral. 

3. Yudaisme & Identitas Yahudi
Bahasa Ibrani, hari Sabat, dan hukum Halakha (hukum Yahudi) terikat dengan sejarah bangsa Israel. Ritual seperti Paskah (Pesach) memperingati eksodus dari Mesir, mengukuhkan identitas Yahudi sebagai komunitas yang dipersatukan oleh ingatan kolektif dan tanah yang dijanjikan. 

4. Kristen & Akar Mediterania

Injil (atau Injil-Injil dalam Perjanjian Baru Kristen) ditulis dalam bahasa Yunani Koine, yang merupakan bahasa umum (lingua franca) di wilayah Mediterania Timur pada abad ke-1 Masehi. Meskipun Yesus dan murid-muridnya kemungkinan menggunakan bahasa Aram (bahasa Semitik yang umum di Palestina) dalam kehidupan sehari-hari, teks Injil dan seluruh Perjanjian Baru disusun dalam bahasa Yunani untuk menjangkau audiens yang lebih luas di Kekaisaran Romawi.

5. Islam & Budaya Arab
Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab dengan metafora yang relevan bagi masyarakat padang pasir. Ritual haji, penggunaan kalender Hijriah, dan hukum waris mencerminkan konteks suku Quraisy di Mekah. Bahkan kaligrafi Arab menjadi ekspresi seni yang tak terpisahkan dari identitas Islam. 

Antara Universalisme dan Partikularisme Budaya
Agama-agama kerap mengklaim universalitas, tetapi ekspresinya selalu partikular. Proses penyebaran agama melibatkan dialektika antara mempertahankan inti ajaran (orthodoxy) dan beradaptasi dengan budaya lokal (orthopraxy).

Buddhisme: Studi Kasus Akulturasi
Lahir di India dengan bahasa Pali dan Sanskerta, Buddhisme berasimilasi dengan budaya China (menjadi Chan/Zen), Tibet (Vajrayana), dan Asia Tenggara (Theravada). Di Jepang, ritual Obon memadukan penghormatan leluhur Buddhisme dengan tradisi Shinto. Namun, inti ajaran seperti Dukkha (penderitaan) dan Nirwana tetap tak tergantikan. 

Kristen di Afrika & Amerika Latin
Di Kongo, misa diiringi tarian tradisional; di Meksiko, perayaan Hari Orang Mati menyatu dengan ritual Katolik. Meski demikian, penggunaan roti dan anggur dalam Ekaristi tetap merujuk pada konteks Timur Tengah. 

Bahasa sebagai Jantung Sakralitas
Bahasa bukan sekadar alat komunikasi, melainkan ruh dari tradisi keagamaan. Upaya menerjemahkan kitab suci sering memicu ketegangan antara aksesibilitas dan kesakralan. 

Veda & Kuasa Mantra Sanskerta
Dalam Hindu, pengucapan mantra seperti Gayatri dianggap kehilangan kekuatannya jika tidak dilafalkan dalam Sanskerta. Bahasa ini diyakini sebagai Deva Bhasha (bahasa para dewa), yang getarannya diyakini memengaruhi kosmos. 

Qur’an & Keunikan Bahasa Arab
Umat Islam meyakini bahwa keindahan sastra Qur’an hanya terpancar dalam bahasa aslinya. Terjemahan dianggap sebagai tafsir, bukan teks suci itu sendiri. Huruf Arab menjadi simbol identitas yang diabadikan dalam kaligrafi, arsitektur masjid, bahkan aksara lokal seperti Jawi (Melayu) dan Pegon (Jawa). 

Berikut ayat-ayat (berdasarkan terjemah resmi edisi penyempurnaan 2019  oleh Kementerian Agama RI) yang menegaskan keistimewaan bahasa Arab sebagai medium Al-Qur’an sekaligus menekankan fungsi universal ajarannya meski terkait dengan konteks budaya dan linguistik Arab.

1. Yusuf (12): 2 "Sesungguhnya Kami menurunkannya sebagai Al-Qur’an berbahasa Arab agar kamu mengerti."

2. Ar-Ra’d (13): 37  "Dan demikianlah Kami menurunkannya (Al-Qur’an) sebagai hukum yang jelas dalam bahasa Arab. Dan jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, maka tidak ada bagimu pelindung dan penolong dari (azab) Allah."*

3. Thaha (20): 113 "Dan demikianlah Kami menurunkan Al-Qur’an dalam bahasa Arab, dan Kami jelaskan di dalamnya ancaman-ancaman secara berulang-ulang agar mereka bertakwa atau (setidaknya) Al-Qur’an itu memberi peringatan bagi mereka."

4. Az-Zumar (39): 28 "(Sebagai) Al-Qur’an berbahasa Arab yang tidak ada kebengkokan (di dalamnya), agar mereka bertakwa."

5. Fussilat (41): 3  "Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui."

6. Asy-Syura (42): 7  "Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) Al-Qur’an dalam bahasa Arab, agar engkau memberi peringatan kepada penduduk Mekah dan sekitarnya, serta memberi peringatan tentang hari berkumpul (Kiamat) yang tidak diragukan adanya. Segolongan masuk surga dan segolongan masuk neraka."*

7. Az-Zukhruf (43): 3 "Sesungguhnya Kami menjadikan Al-Qur’an dalam bahasa Arab agar kamu mengerti."

8. Al-Ahqaf (46): 12  "Dan sebelum Al-Qur’an itu telah ada Kitab Musa sebagai petunjuk dan rahmat. Dan (Al-Qur’an) ini adalah Kitab yang membenarkannya dalam bahasa Arab untuk memberi peringatan kepada orang-orang yang zalim dan menjadi kabar gembira bagi orang-orang yang berbuat baik."

9. An-Nahl (16): 103  "Dan sungguh, Kami mengetahui bahwa mereka berkata, ‘Sesungguhnya Al-Qur’an itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad).’ Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (sebagai pengajar) itu adalah bahasa asing, sedangkan (Al-Qur’an) ini dalam bahasa Arab yang jelas."

10. Asy-Syu’ara (26): 195 "Dengan bahasa Arab yang jelas."

11. Fussilat (41): 44 "Dan sekiranya Al-Qur’an Kami jadikan sebagai bacaan dalam bahasa selain Arab, tentu mereka (orang kafir) berkata, ‘Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?’ Apakah (pantas) dalam bahasa asing sedang (rasul adalah orang) Arab? Katakanlah, ‘Al-Qur’an itu petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang yang beriman. Sedangkan bagi orang yang tidak beriman, pada telinga mereka ada sumbatan, dan (Al-Qur’an) itu merupakan kegelapan bagi mereka.

Mereka itu seperti orang yang dipanggil dari tempat yang jauh.’"

Upaya memisahkan agama dari bahasa dan budaya asalnya—misalnya, mengganti kalender Hijriah dengan Masehi atau menghapus penggunaan Latin dalam misa—sering dianggap merusak kesinambungan historis dan spiritual. 

Paradoks Identitas: Menghormati Akar vs. Menolak Budaya Asal
Contoh kontroversial adalah sikap sebagian penganut Islam yang menolak budaya Arab sambil mengadopsi simbol-simbolnya. Nama seperti "Muhammad" atau "Abdul Hakim", syahadat dalam bahasa Arab, dan hukum _halal-haram_ yang merujuk pada konteks Timur Tengah, semua adalah produk budaya Arab. Menghina budaya Arab sambil mengklaim kesalehan adalah paradoks, karena Islam—sebagai sistem makna—tidak hadir dalam ruang hampa budaya. 

Namun, agama bukanlah "tahanan" budaya asalnya. Proses sintesis budaya (seperti Islam Nusantara di Indonesia) menunjukkan bahwa agama bisa beradaptasi tanpa kehilangan esensinya. Misalnya, penggunaan bedug di masjid, adaptasi _wayang_ untuk dakwah, atau penghormatan pada leluhur dalam bentuk _ziarah kubur_, adalah bentuk harmonisasi antara norma Islam dan budaya Jawa. 

Kesimpulan: Agama sebagai Wahyu yang Membumi
Agama adalah fenomena "pralangit" (transenden) yang turun ke dunia "profan" melalui bahasa dan budaya manusia. Penolakan terhadap keterkaitan ini adalah pengingkaran terhadap hakikat agama sebagai wahyu yang kontekstual. Sebagaimana manusia tidak bisa lahir di luar rahim, agama tidak bisa lahir di luar budaya.

Tak ada yang berhak mencemooh Arab, Persia, China dan lainnya hanya karena menerima Islam dengan kultur Jawa atau Nusantara. Mencemmooh satu ras berarti memasukkan semua manusia dari ras itu dalam cemooh.

Islam ala Arab adalah Islam yang diterima sesuai dengan kultur Arab. Islam ala Nusantara atau ala Indonesia adalah Islam yang diterima sesuai dengan budaya khas dan karakter Indonesia. Tidak ada yang salah dengan itu.

Bersambung....