Setiap agama lahir dalam ruang budaya dan sejarah yang spesifik, melekat pada identitas geografis, etnis, atau tokoh pembawanya. Nama-nama seperti "Hinduisme" (dari Sungai Indus), "Kristen" (dari Kristus/Yesus dari Nasaret), "Buddhisme" (dari gelar Sang Buddha), atau "Yudaisme" (dari suku Yehuda) menunjukkan bahwa agama-agama besar dunia kerap diidentikkan dengan tempat, tokoh, atau komunitas awal yang melahirkannya. Fenomena ini menegaskan bahwa agama, sebagai produk peradaban manusia (antropos), tidak lahir dalam ruang kosong, melainkan dari interaksi antara wahyu, manusia, dan lingkungannya.
Namun, ketika agama menyebar melampaui batas geografis kelahirannya, ia menjadi "pendatang" di wilayah baru. Islam, Hindu, dan Buddhisme misalnya, adalah "pendatang" di Nusantara—sebuah wilayah yang jauh sebelum Indonesia menjadi entitas politik modern dengan batas teritorial yang disahkan pada 1945. Proses akulturasi yang terjadi kemudian membuktikan bahwa agama mampu beradaptasi dengan budaya lokal tanpa kehilangan inti ajarannya. Tapi ada pertanyaan menarik: Mengapa Islam tidak dinamai berdasarkan tokoh, kota, atau etnis pembawanya?
Islam adalah fenomena unik dalam katalog agama-agama dunia. Berbeda dengan agama lain yang kerap menggunakan nama tokoh pendiri (Kristen dari Kristus, Buddhisme dari Buddha) atau lokasi (Yudaisme dari Yehuda, Hinduisme dari Hindustan), nama "Islam" justru berasal dari kata kerja *aslama*—yang berarti "berserah diri"—sebuah konsep universal yang tidak terikat pada individu, suku, atau wilayah tertentu. Bahkan Nabi Muhammad SAW, pembawa risalah Islam, secara tegas menyatakan: "Setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah (suci). HR. Bukhari).
Ini menegaskan dua hal:
1. Islam bukan "agama baru", melainkan kelanjutan dari ajaran tauhid yang dibawa semua nabi sejak Adam hingga Isa.
2. Nama "Islam" dipilih bukan untuk mengkultuskan Muhammad SAW**, melainkan menegaskan hakikat agama sebagai *totalitas penyerahan diri kepada Tuhan*.
Bahkan Al-Qur’an menyebut pengikutnya sebagai *"ummah wasath"* (umat pertengahan) atau *"muslimun"* (orang-orang yang berserah diri), bukan "Muhammadi" atau "Quraisyi". Istilah "ummi"* yang disematkan pada Nabi Muhammad SAW (QS. Al-A’raf: 157) pun bukan sekadar penanda buta huruf, melainkan simbol bahwa risalahnya bersumber murni dari wahyu, bukan produk budaya atau intelektual lokal.
Agama Tuhan vs. Agama Manusia:
Al-Qur’an menegaskan:
"Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam." (QS. Ali Imran: 19).
Namun, "Islam" di sini bukanlah label formal, melainkan *substansi ajaran* yang mencakup semua kebenaran yang dibawa para nabi. Dalam perspektif ini:
- Ibrahim adalah "muslim" (QS. Ali Imran: 67), meski hidup sebelum Muhammad SAW.
- Ajaran monoteisme dalam Yudaisme dan Kristen diakui sebagai bagian dari "Islam" selama tidak terdistorsi (QS. Al-Baqarah: 136).
- Kebenaran dalam filsafat Yunani, etika Konfusianisme, atau spiritualitas Hindu-Buddha—selaras dengan fitrah—dianggap sebagai fragmen kebenaran universal yang menyatu dalam "Islam" sebagai way of life.
Ini membawa kita pada postulat: Secara substansial, hanya ada satu "agama Tuhan"**, yakni ajaran tentang ketauhidan, keadilan, dan kasih sayang yang sesuai dengan fitrah manusia.
Di Indonesia, Islam tidak menjadi "asing" meski berasal dari Arab. Ia berpadu dengan budaya lokal melalui:
- Seni: Wayang kulit untuk dakwah, kaligrafi Pegon dalam kitab kuning.
- Tradisi: Sedekah laut, selamatan dengan doa Islam.
- Hukum Adat: Rekonsiliasi antara syariat dan hukum adat (misal: pembagian waris).
Ini membuktikan bahwa universalitas Islam tidak terancam oleh lokalitas. Justru, akulturasi memperkaya ekspresi keberagamaan selama tidak bertentangan dengan prinsip tauhid.
Jika masih terlena mengagung-agungkan budaya Barat—dari gaya hidup hingga nilai-nilai yang diimpor—tak perlu berkoar sok nasionalis seraya merendahkan budaya bangsa lain. Yang perlu adalah sikap proporsional.
Mengkritik hegemoni budaya asing bukan berarti kita harus jatuh ke dalam chauvinisme sempit yang mengklaim budaya domestik sebagai "paling unggul". Sebab, dalam masyarakat yang dibentuk oleh keragaman dan dialog antarbudaya, tak ada satupun budaya yang benar-benar "murni" atau eksklusif milik satu kelompok.
Di era Revolusi Industri 4.0, di mana batas-batas geografis dan kultural kian cair, konsep budaya "sakral", "imun", atau "superior" hanyalah ilusi. Yang relevan kini adalah komitmen pada multikulturalisme, merawat keragaman tanpa fanatisme buta pada budaya sendiri, sekaligus menghindari sikap merendahkan budaya lain. Setiap tradisi—betapapun "aneh" ia terlihat di mata etnis lain—tetaplah mulia dalam konteks sejarah dan kearifan lokalnya. Toleransi dan saling menghargai bukan hanya kewajiban moral dalam ranah agama, melainkan prinsip universal yang harus meresap ke seluruh ruang kehidupan, termasuk budaya.
Budaya, dalam hakikatnya, sejajar dengan agama dan sains: ketiganya adalah konstruksi persepsi kolektif yang lahir dari kebutuhan manusia untuk memaknai realitas. Jika agama adalah produk iman yang diformalkan, dan sains adalah produk rasionalitas yang terstruktur, maka budaya adalah ekspresi identitas yang hidup dan dinamis. Di sinilah akal sehat dan hukum logika berperan sebagai juri—bukan untuk mengabsolutkan satu budaya, melainkan untuk memastikan bahwa praktik budaya tidak bertentangan dengan prinsip kemanusiaan universal.
Nusantara adalah kanvas multikultural. Seluruh tradisi yang pernah ada, sedang berkembang, atau akan lahir di bumi Nusantara—entah berasal dari lokal, asimilasi, maupun adaptasi global—adalah bagian tak terpisahkan dari Budaya Nusantara. Dari ritual adat Papua hingga seni kontemporer Jakarta, dari kearifan Sunda Wiwitan hingga modernitas Muslim urban, semuanya adalah mozaik yang membentuk identitas kita. Menolak klaim "budaya asli vs budaya impor" bukanlah pengkhianatan, melainkan pengakuan jujur bahwa kebudayaan adalah proses yang cair, lentur, dan tak pernah final.
Pada akhirnya, menghormati budaya lain bukanlah tanda kelemahan, melainkan bukti kedewasaan berpikir. Mestinya tidak menjadikan Nusantara sebagai benteng eksklusivisme, melainkan taman tempat ratusan kembang budaya bermekaran—saling memperkaya, saling menginspirasi, dan bersama-sama merajut peradaban yang manusiawi.