Karena mungkin ingin terlihat nasionalis agar menjadi credit point baginya di tengah kompetisi perebutan panggung, alih-alih memberikan penjelasan yang rasional tentang relasi antara agama sakral sebagai wahyu dan agama profan sebagai budaya lokal yang menyertai kelahitannya dan budaya di tempat lain yang berdaptasi dengannya, malah rajin memproduksi pernyataan paradoksal menghina budaya Arab yang sebagian darinya secara faktual telah menjadi bagian integral Islam.

Padahal nasionalisme tidak merendahkan "nation" lain, tapi justru mempertahankan "nation" sendiri seraya menghormati ragam "nation" lainnya. agar saling mengenal sehingga bisa menjalin kerjasama yang saling menguntungkan. Allah berfirman, "Dan kami menjadikan kamu (umat manusia) berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal." (QS. Al-Hujurat : 13). Inilah nasionalisme yang dikehendaki oleh Bung Karno, yaitu nasionalisme yang berpasangan dengan internasionalisme, bukan chauvinisme dan rasisme yang justru menjadi biang kolonialisme dan imperialisme.

Padahal, yang terjadi justru pengabaian terhadap fakta sejarah: agama dan budaya adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Bila Islam tersebar dan diterima di luar tempat kelahirannya, maka yang diterimanya adalah Islam yang telah beradaptasi dengan sebagian budaya Arab dan menjadi bagian darinya. Islam tidak menyebar begitu saja berupa ajaran-ajaran abstrak tanpa bahasa dan budaya penyebarnya.

Mengutuk budaya Arab dalam Islam—seperti gaya berpakaian, bahasa, atau tradisi—dengan dalih "menjaga identitas nasional" adalah tindakan yang tidak hanya ahistoris, tapi juga kontraproduktif. Ini ibarat membenci pohon karena akarnya tumbuh di tanah yang bukan milikmu.

Padahal, bahasa Arab dalam shalat atau istilah "halal" bukanlah simbol "keasingan", melainkan jejak sejarah yang menghubungkan Muslim Indonesia dengan akar spiritual global. Menolaknya secara membabi-buta sama dengan merobek halaman penting dari buku sejarah sendiri.

Tak dapat disangkal bahwa setiap agama, ketika pertama kali diperkenalkan di suatu wilayah, akan mengalami proses adaptasi dengan budaya lokal dan konteks zamannya. Proses ini bukan sekadar fenomena historis, melainkan hukum alam dari interaksi antara nilai-nilai universal agama dengan realitas sosial yang dinamis. Ketika agama menyebar ke wilayah baru, ia tidak hanya membawa pesan spiritualnya, tetapi juga "warisan budaya" dari tempat awal penyebarannya. Dengan demikian, budaya yang melekat pada fase awal penyebaran agama tersebut lambat laun menjadi bagian dari identitasnya—sebuah lapisan yang sulit dipisahkan tanpa mengaburkan kekayaan historis dan kontekstual agama itu sendiri. 

Budaya tempat kelahiran agama berperan sebagai wadah antropologis yang memberi bentuk pada nilai-nilai abstrak agama. Tanpanya, agama menjadi seperti air yang tak punya wadah—menguap atau menggenang tanpa arah. Misalnya, ritual *Nyepi* dalam Hindu Bali tidak bisa dipisahkan dari kosmologi lokal tentang keseimbangan alam dan manusia. Jika ritual ini "dibersihkan" dari budaya Bali dan dipaksakan mengikuti format India atau Barat, ia kehilangan konteks filosofisnya yang mendalam dan berubah menjadi sekadar pertunjukan eksotis. 

Agama tidak turun ke dunia dalam ruang hampa budaya. Ia lahir, tumbuh, dan menyebar melalui medium bahasa, adat, serta sistem nilai masyarakat setempat. Dalam Islam, penggunaan bahasa Arab dalam Al-Qur'an dan ibadah tidak bisa dipisahkan dari konteks sejarah kenabian di Jazirah Arab. Namun, ini tidak berarti seluruh budaya Arab—seperti gaya berpakaian tertentu atau tradisi kabilah—harus dianggap sebagai bagian dari agama. Demikian pula, Hindu memiliki ritual yang terkait dengan geografi India (seperti sungai suci Gangga), tetapi filosofi tentang dharma dan karma bersifat universal. 

Budaya yang melekat pada agama adalah jejak sejarah yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini. Memutusnya sama dengan menghapus akar yang menghidupkan makna simbolis dan kearifan lokal.

Kritik terhadap relasi agama dan budaya biasanya berangkat dari kekhawatiran akan sinkretisme. Namun, selama lapisan budaya tidak diabsolutkan atau dianggap setara dengan wahyu, keberadaannya justru memperkuat keberagamaan yang autentik. Umat beragama perlu bijak membedakan antara esensi doktrin (yang sakral dan tetap) dengan bentuk ekspresi (yang fleksibel dan kontekstual). - Esensi: Shalat wajib lima waktu dalam Islam, persembahyangan di pura dalam Hindu. - Ekspresi Budaya Adzan dengan melodi khas Minangkabau, arsitektur pura Bali yang berbeda dengan India. Mengikuti suatu agama sambil bersikeras menolak budaya yang telah melekat padanya—seperti menolak budaya Arab dalam Islam atau budaya India dalam Hindu—adalah dilema yang memerlukan solusi kritis. Alih-alih menanggalkan budaya asal, yang diperlukan adalah dekonstruksi untuk memilah mana yang sakral dan mana yang kultural. Contoh: - Muslim di Barat bisa mempertahankan nilai hijab tanpa menggunakan abaya gaya Arab. - Hindu di Bali dapat memadukan konsep *Tri Hita Karana* dengan prinsip ekologi modern. Agama bukanlah museum yang mengawetkan budaya asal secara kaku, tetapi juga bukan laboratorium yang boleh direkayasa seenaknya. Menjaga dialektika antara wahyu dan budaya adalah kunci agar agama tetap relevan tanpa kehilangan jati diri. Agama dan budaya ibarat benang dalam kain tenun: mencabut satu warna akan merusak pola keseluruhan. "Agama tanpa budaya adalah hantu; budaya tanpa agama adalah bayangan. Hanya dalam dialektika keduanya, manusia menemukan cahaya." Nasionalisme sejati bukanlah menolak warisan budaya asal agama, tapi merangkainya dengan kearifan lokal. Agamawan mestinya mengerti tentang konstruksi budaya dan defenisi logis nasionalisme sebelum koar-koar mengukir jejak digitalnya sebagai noda abadi di kening sejarah.