Presiden Prabowo  baru-baru ini menyatakan kesiapan Indonesia menampung pengungsi Gaza jika diperlukan.

Di balik sikap "siap menampung" ini, tersembunyi pertanyaan kritis: Apakah Indonesia sedang menjalankan solidaritas kemanusiaan, atau justru terjebak dalam skema politik rencana Trump mengosongkan Gaza dari warga Palestina dalam rangka perluasan wilayah Istael?

Menampung pengungsi (warga yang mencari tempat aman dari konflik atau bencana) berbeda dengan menyediakan tempat bagi warga yang dipaksa meninggalkan tempatnya. Yang pertama adalah aksi solidaritas kemanusiaan. Yang kedua adalah memudahkan pengosongan atau mendukung pengusiran.

Dalam situasi krisis, tindakan menampung orang yang kehilangan tempat tinggal sering dianggap sebagai bentuk kebaikan universal. Namun, tidak semua penampungan memiliki makna dan tujuan yang sama. Ada garis tipis antara aksi solidaritas kemanusiaan dan praktik yang justru memuluskan ketidakadilan.

Sejak awal invasi ke Gaza 2023, rezim Istael secara terbuka mengusulkan "relokasi sukarela" warga Palestina ke luar negeri. Program ini mendapat dukungan Donald Trump, yang dalam pidatonya pada 11 Januari 2024 menyerukan negara-negara Muslim, termasuk Indonesia, untuk "menerima pengungsi Gaza". Narasi ini dikemas sebagai "solusi kemanusiaan", tetapi akarnya adalah upaya sistematis mengubah demografi Palestina dengan mengusir warga pribumi dari tanah airnya. 

Istael telah menghancurkan 70% permukiman Gaza, memutus akses air bersih, dan memblokade bantuan pangan. Dengan kondisi ini, tawaran "evakuasi" ke luar negeri bukanlah pilihan, melainkan pemaksaan terselubung. Jika Indonesia menerima pengungsi Gaza dalam skema ini, secara tidak langsung, kita menjadi bagian dari rantai yang melegitimasi pendudukan ilegal Israel.

Indonesia memiliki rekam jejak kuat mendukung kemerdekaan Palestina. Sejak era Soekarno, prinsip "Palestina adalah jantung politik luar negeri Indonesia" dipegang teguh. Bantuan kemanusiaan ke Gaza melalui Medical Emergency Rescue Committee (MER-C) dan dukungan diplomasi di forum PBB adalah bukti konsistensi ini. 

Jika penampungan pengungsi Gaza dilakukan atas permintaan otoritas Palestina di Gaza, dengan jaminan hak repatriasi (kembali ke tanah air), maka ini adalah bentuk solidaritas.

Program Trump-Istael ingin mengubah pengungsi Gaza menjadi statistik permanen di negara ketiga, mirip dengan nasib pengungsi Palestina di Suriah atau Lebanon yang terdampar puluhan tahun tanpa kewarganegaraan. 

Jika  tergesa-gesa menerima skema ini tanpa kritik, kita berisiko: 
- Mengalihkan perhatian dari kejahatan perang Istael. 
- Melemahkan posisi Palestina dalam memperjuangkan hak dan  kemerdekaannya
- Membuka pintu bagi normalisasi hubungan dengan Istael yang bertentangan dengan konstitusi UUD 1945 dan sikap politik Indonesia selama ini. 

Pernyataan Prabowo  perlu dibaca dalam konteks tekanan geopolitik. Amerika Serikat dan sekutunya kerap menggunakan "bantuan kemanusiaan" sebagai alat politik untuk mengamankan agendanya. Namun, Indonesia bukan tanpa daya. Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar dan anggota G20, Indonesia memiliki leverage untuk menolak skema yang mengorbankan hak-hak Palestina. 

Kesiapan Indonesia menampung Gaza adalah ujian bagi integritas politik dan kemanusiaan kita. Solidaritas sejati tidak boleh menjadi alat untuk mencuci tangan dari akar masalah: pendudukan ilegal Israel. Seperti pesan Bung Hatta, "Kebijakan luar negeri Indonesia harus aktif memperjuangkan perdamaian dan keadilan, bukan menjadi corong kepentingan asing."