Ini bukan tayangan perdana serial "blusukan". Kita seperti menyaksikan déjà vu politik. Mayoritas publik pernah kecanduan sinetron populisme yang terbaca sebagai egaliterianisme. Inilah yang menjadi tiket murah menuju kursi kekuasaan tertinggi. Namun, alih-alih akhir bahagia, sebagian penonton justru merasa menjadi korban "prank", sebuah plot twist yang pahit: ekonomi yang kian meradang dan pilar demokrasi yang kian keropos.
Sejak menit pertama menjadi gubernur, dia langsung tancap gas. Gebrakan perdananya melarang tur sekolah demi meringankan beban finansial orang tua, sebuah kebijakan populis yang bak oase di tengah gurun keresahan ekonomi. Simpel, mudah dicerna, dan langsung menyentuh denyut nadi masyarakat.
Aksi blusukan sang gubernur pun menjadi pemandangan yang tak asing lagi. Menegur pejabat di hadapan publik, memungut sampah, hingga berinteraksi hangat dengan pedagang kaki lima menciptakan citra "pemimpin merakyat", jauh dari kesan birokrat kaku. Apalagi, semua ini terekam dan tersebar luas di jagat maya, tanpa iring-iringan ajudan, namun selalu ditemani lensa kamera. Di era digital, setiap gerak-gerik pemimpin berpotensi menjadi konten.
Para pendukung bersorak, "Inilah pemimpin yang dekat dengan rakyat, tanpa sekat protokoler!" Sementara itu, suara kritis berbisik, "Ini adalah pencitraan sistematis, sebuah scripted reality untuk membangun narasi 'pemimpin rendah hati'." Kedua perspektif ini memiliki validitasnya masing-masing. Blusukan tanpa pengawal bisa jadi manifestasi empati, namun dokumentasi yang terstruktur dan masif memunculkan tanda tanya: semua ini demi rakyat, atau demi engagement di media sosial?
Di tengah arus modernitas dan globalisasi, kita juga mendapati sentuhan "nativisme" dalam profil sang gubernur. Ini bisa diapresiasi sebagai upaya mulia untuk melestarikan kearifan lokal, mengangkat kekayaan budaya daerah, dan memperkuat identitas masyarakat. Namun, kewaspadaan tetap diperlukan agar penekanan pada kedaerahan ini tidak melampaui batas, menjelma menjadi lokalisme eksklusif, tribalisme sempit, atau bahkan primordialisme negatif yang justru merusak kohesi bangsa.
Terlepas dari segala spekulasi motif, gaya kepemimpinan sang gubernur layak dianalisis. Ia membuktikan bahwa politik kontemporer tak terlepas dari seni komunikasi visual. Ia juga memicu perdebatan penting: sejauh mana pejabat publik boleh mengekspos pekerjaan mereka? Transparansi memang esensial, namun ketika aksi sosial bertransformasi menjadi komoditas konten, apakah substansi pelayanan tidak tergerus oleh obsesi untuk menjadi trending?
Popularitas sang gubernur di media sosial tak terbantahkan. Namun, kita perlu mengingat bahwa popularitas bukanlah tolok ukur utama keberhasilan kebijakan. Sejarah mencatat, banyak pemimpin yang awalnya dipuja karena retorika dan citra, namun akhirnya terpuruk karena kebijakan mereka gagal menjawab tantangan zaman.
Egalitarianisme adalah aksi diam-diam untuk keadilan. Populisme aksi panggung untuk pencitraan.
* Pendidikan Berbasis Pengalaman Langsung (Hands-On): Tenaga pendidik dalam platform daring mungkin mahir dalam menyampaikan materi, namun guru yang secara langsung mengoreksi hasil kerja siswa di kelas memiliki pemahaman mendalam mengenai area kelemahan individual. AI dapat menyediakan formula, namun tidak dapat memberikan bimbingan taktis secara langsung kepada siswa yang mengalami kesulitan.
http://t.me/ArsipChannel_Tulisan_ML
BLUSUKAN ANTARA EGALITERIANISME DAN POPULISME
