Ali Syariati memandang piramida Giza dengan decak kagum, tapi juga dengan pertanyaan yang menggigit: "Mengapa manusia mengagumi kemegahan batu, tapi melupakan darah dan keringat yang membangunnya?" Di balik susunan batu raksasa yang abadi itu, tersembunyi cerita tentang ribuan *buruh*—atau lebih tepatnya, budak—yang dipaksa mengusung balok-balok seberat gunung di bawah terik Sahara yang membakar. Mereka bekerja tanpa upah, tanpa nama, tanpa pengakuan. Tubuh mereka remuk di bawah cambuk Firaun, sementara sejarah hanya mengukir nama raja di nisan megah itu.
Inilah paradoks peradaban: kita memuliakan monumen, tapi mengubur memori tentang tangan-tangan yang membangunkannya. Piramida menjadi simbol kejayaan Mesir Kuno, tapi siapa yang menyebut *nama* para pekerja yang mati mengenaskan? Mereka dianggap sekadar alat, bukan subjek sejarah. Mirip dengan cara kita hari ini memandang "buruh"—sebagai angka statistik, tenaga yang bisa digantikan, bukan sebagai manusia utuh dengan mimpi, luka, dan hak untuk dihormati.
Tapi sejarah manusia dipenuhi kisah kerja yang dirampas: dari budak piramida hingga buruh pabrik yang upahnya tak cukup untuk sekadar hidup layak. Allah SWT mengingatkan: "Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat, dan Kami jadikan malam sebagai pakaian (yang menutup), dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan." (QS. An-Naba’: 9-11)
Siang hari—waktu kerja—adalah anugerah untuk mencari penghidupan, bukan untuk diperbudak. Namun, mentalitas Firaun yang memandang manusia sebagai mesin produksi masih mengakar. Piramida mengajarkan satu hal: tidak ada keagungan tanpa pengorbanan. Tapi pengorbanan itu haruslah bermartabat, bukan paksaan. Setiap batu yang tersusun di Giza adalah metafora tentang kerja kolektif—sebuah mahakarya yang mustahil terwujud tanpa partisipasi banyak pihak. Namun, ketika satu kelompok dieksploitasi, keagungan itu ternoda.
Di tengah narasi tentang pengabaian terhadap pekerja, sejarah Islam menawarkan teladan gemilang: Ali bin Abi Thalib, manusia kedua setelah Nabi Muhammad SAW dalam kemuliaan, justru dikenal sebagai buruh penggali sumur dan penebang pohon kurma" Ia tak ragu mengotori tangan dengan tanah atau melepas peluh di tengah terik. Padahal, sebagai sepupu dan menantu Nabi, ia bisa saja hidup nyaman. Tapi Ali memilih jalan berbeda: bekerja dengan tangan sendiri adalah bagian dari kehormatan.
Ini adalah tamparan bagi stigma yang merendahkan pekerja kasar. Jika seorang khalifah—pemimpin tertinggi umat—bersedia menggali sumur untuk menghidupi keluarganya, lantas mengapa kita masih memandang "buruh" dengan sebelah mata? Ali membuktikan: tidak ada pekerjaan yang hina selama dilandasi niat baik dan keadilan. Bahkan, dalam salah satu sabdanya, ia mengingatkan: "Janganlah kau merasa rendah karena pekerjaanmu, tapi risaulah jika amalmu buruk."
Bukankah ketika kita memuji insinyur yang merancang gedung pencakar langit, kita mengabaikan tukang bangunan yang menancapkan batu bata demi batu bata? Kita memuliakan CEO yang membukukan keuntungan triliunan, tapi menuntut buruh pabrik bekerja lembur dengan upah minimum. Padahal, Allah SWT berfirman: "Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan anak cucu Adam." (QS. Al-Isra’: 70)
Kemuliaan ini tidak bersyarat. Ia melekat pada setiap manusia—entah ia buruh harian, budak piramida, atau direktur perusahaan. Dalam mata Tuhan, nilai kerja tak diukur dari gelar atau jas, tapi dari niat dan keadilan. Sebagaimana firman-Nya: "Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, ia akan melihat balasannya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, ia akan melihat balasannya." (QS. Az-Zalzalah: 7-8)
Surga dan neraka adalah akumulasi dari "pekerjaan" manusia. Tapi di bumi, kita terjebak dalam dikotomi semu: *buruh vs. profesional, kerah biru vs. kerah putih.* Padahal, setiap insan adalah khalifah yang bertugas memakmurkan bumi—dengan tangan yang mungkin berlumut kapur atau terkotori oli mesin.
Maka, ketika gelombang protes menggemuruh, yang perlu kita perdebatkan bukan hanya pasal-pasal UU, melainkan juga cara kita memaknai kata "buruh". Jika "buruh" adalah kita semua—dari yang berseragam kusam hingga berdasi merah—bukankah sudah saatnya kata itu dibebaskan dari belenggu hierarki?
Allah tidak menilai jas, tapi niat dan amal. Setiap tangan yang berkarya layak dihormati—tanpa embel-embel gelar. Jika kita benar-benar ingin menghormati warisan piramida, mulailah dengan menghormati pekerja zaman now pastikan upah mereka adil, jaminan keselamatan kerja terpenuhi, dan suara mereka didengar dalam setiap kebijakan.
Piramida mungkin abadi di dunia, tapi keadilan lebih abadi lagi. Di akhirat nanti, yang ditanya bukanlah "seberapa megah karyamu," melainkan "seberapa adil kau memperlakukan mereka yang membantumu membangunnya."
Seperti gurun Sahara yang menyimpan erosi waktu dalam setiap pasirnya, sejarah akan mencatat: peradaban sejati bukanlah yang meninggikan batu, tapi yang memanusiakan pekerjanya. Dan Ali bin Abi Thalib telah membuktikan: keagungan sejati terletak pada kerja yang bermartabat—bukan pada menara gading, tapi pada sumur-sumur yang digali dengan tangan sendiri.
http://t.me/ArsipChannel_Tulisan_ML