Terjadi pendangkalan makna dan fungsi serta peran agamawan entah sejak kapan sehingga hanya mengulang teks dan doktrin yang merupakan interpretasi para agamawan terdahulu yang dikesankan paling benar sehingga interpretasi selainnya dianggap salah dan menyimpang dari teks, bahkan menganggap interpretasi para terdahulu sebagai ajaran agama itu sendiri. Akhirnya, peran agamawan hanya mengulang-ulang interpretasi para agamawan terdahulu yang sebagiannya atau sebagian besarnya tidak relevan, tidak logis, bahkan kontraproduktif.
Kini agamawan dipahami sebagai orang yang mengulang-ulang anjuran dan larangan dalam ajaran agama tanpa analisa kontekstual dan tanpa parameter kompetensi yang jelas. Agamawan menjadi profesi yang murah, mudah dan longgar yang bisa dilakukan oleh siapapun yang ingin menjadi agamawan. Sebagian orang dari umat yang kiritis memandang agama yang diidentikkan dengan agamawan tipe demikian adalah salah satu industri dan kapitalisasi doktrin.
Agamawan terjebak dalam peran sebagai kurator teks, bukan penafsir kontekstual. Mereka mengulang tafsir klasik tanpa kritik historis atau filsafat bahasa, seolah-olah teks agama adalah monolit statis.
Interpretasi ulama klasik seperti Ibn Taymiyyah dianggap setara dengan teks suci itu sendiri. Padahal, tafsir mereka adalah produk zaman mereka—dipengaruhi konteks politik, budaya, dan keterbatasan epistemik masa lalu.
Agamawan kontemporer sering hanya menjadi distributor dogma, bukan produsen makna. Ini menciptakan pasar agama yang murah, di mana "jual beli" fatwa menjadi transaksi tanpa substansi.
Di era digital, agamawan menjadi konten kreator yang menjual "paket keselamatan" melalui ceramah viral, dengan algoritma media sosial sebagai mimbar baru. Likes dan shares menjadi parameter "kebenaran".
Kelompok tertentu mematenkan tafsir mereka sebagai "ajaran resmi", lalu memonetisasinya melalui donasi, seminar, atau merchandise (misalnya jilbab "syar'i", buku "tutoroal shalat khusyuk").
Lembaga-lembaga agama terkadang berfungsi seperti pabrik yang mencetak fatwa seragam, sering kali untuk melayani kepentingan politik atau ekonomi penguasa.
Umat menjadi "pembeli pasif" yang menukar kritikalitas dengan rasa nyaman doktrin instan. Siapa pun yang mempertanyakan otoritas dianggap "melawan agama", padahal yang mereka pertanyakan adalah praktik komersialisasi-nya.
Agamawan kontemporer terjebak dalam krisis legitimasi karena gagal menjawab kompleksitas zaman. Agama bukanlah museum yang memamerkan tafsir usang, melainkan laboratorium makna yang harus terus bereksperimen.
Agamawan mestinya tidak hanya mengobral narasi umum dan abstrak tentang ajaran-ajaran yang sebagian besar hanya berisi anjuran dan larangan, tapi harus menjadi konsultan, mediator dan problem solver karena masalah yang dihadapi setiap individu umat berbeda-beda sehingga perlu tahu secara detail dan komprehensif agar bisa memberikan solusi akurat. Jadi, agamawan tidak hanya mahir retorika di mimbar tapi harus terjun ke masyarakat.
Tantangannya adalah mengembalikan agama sebagai proyek humanisasi, bukan komoditas atau alat kontrol. Jika tidak, agama akan menjadi seperti "baju zirah abad pertengahan" yang dipaksa dipakai di medan perang modern—tak relevan, dan justru membebani.