Dalam tradisi hukum Islam Sunni, fenomena sentralisasi otoritas fikih pada warisan empat pendiri mazhab—Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris asy-Syafi'i, dan Ahmad bin Hanbal—merupakan realitas historis dan sosiologis yang tak terbantahkan.

Kecenderungan mayoritas umat Sunni untuk mengikuti salah satu dari mazhab ini menunjukkan adanya penerimaan luas terhadap status mereka sebagai mujtahid yang hasil ijtihadnya dianggap memiliki relevansi yang abadi hingga akhir zaman sejak pintu ijtihad ditutup oleh para ulama dan umara.

Kemunculan tokoh dan lembaga keagamaan modern dengan produk ijtihad yang berusaha menjawab tantangan masa kini, seperti Yusuf al-Qaradawi, Wahbah Zuhaili dan para ulama ahli fikih di seluruh dunia Sunni, termasuk di Indonesia seperti fatwa atas nama ormas keagamaan seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan lainnya menghadirkan dinamika baru dalam lanskap hukum Islam Sunni.

Meskipun demikian, pengaruh dan tingkat kepatuhan faktual terhadap fatwa-fatwa kontemporer ini belum secara signifikan menggeser dominasi otoritas para imam mazhab klasik di kalangan mayoritas umat Sunni. Hal ini mengindikasikan adanya inersia tradisi dan preferensi terhadap otoritas yang telah mapan.

Beberapa faktor historis dan sosiologis memang berkontribusi pada fenomena ini. Kedekatan temporal para imam klasik dengan masa awal Islam dan akses mereka terhadap sumber-sumber primer memberikan legitimasi historis yang sulit ditandingi. Metodologi ijtihad yang mereka kembangkan, meskipun beragam dan memiliki keterbatasan kontekstual, telah membentuk kerangka hukum yang relatif komprehensif dan mampu memberikan jawaban pada masanya. Selain itu, penerimaan luas terhadap empat mazhab ini selama berabad-abad telah melahirkan tradisi literatur hukum yang kaya dan menjadi rujukan utama bagi generasi ulama selanjutnya, menciptakan siklus ketergantungan intelektual.

Namun, perlu dicatat bahwa argumentasi mengenai relevansi "melampaui batasan waktu" dari ijtihad para imam klasik perlu dikaji secara kritis. Konteks sosial, politik, ekonomi, dan teknologi pada abad ke-8 hingga ke-9 Masehi tentu berbeda secara fundamental dengan realitas abad ke-21. Mengaplikasikan secara langsung hasil ijtihad yang lahir dalam konteks yang berbeda tanpa mempertimbangkan perubahan zaman berpotensi menimbulkan anakronisme dan ketidakmampuan hukum dalam menjawab permasalahan kontemporer secara efektif.

Meskipun ijtihad kontemporer menawarkan respons terhadap isu-isu modern, operasinya seringkali dibatasi oleh bayang-bayang otoritas klasik. Fatwa-fatwa modern, meskipun diikuti oleh sebagian umat yang mencari jawaban relevan dengan kehidupan mereka, belum mampu mencapai tingkat kepatuhan yang setara dengan pandangan para imam mazhab dalam skala global Sunni.

Hal ini mengindikasikan adanya resistensi terhadap perubahan paradigma hukum, yang mungkin disebabkan oleh konservatisme, kurangnya otoritas sentral di kalangan ulama kontemporer, atau ketidakpercayaan sebagian umat terhadap kemampuan ijtihad modern dalam menafsirkan sumber-sumber primer secara otentik.

Konsekuensi dari dominasi fikih klasik ini adalah kesulitan dalam merumuskan kesimpulan hukum yang tunggal dan mengikat atas nama "mazhab Sunni" untuk isu-isu kontemporer. Pluralitas interpretasi yang muncul dari berbagai entitas modern, tanpa adanya otoritas yang disepakati secara universal seperti halnya para imam mazhab, mencerminkan fragmentasi otoritas hukum Sunni di era modern. Hal ini dapat menimbulkan kebingungan dan inkonsistensi dalam praktik keagamaan umat Sunni secara global.

Dengan demikian, meskipun warisan intelektual empat imam mazhab klasik tetap menjadi pilar penting dalam tradisi hukum Islam Sunni, analisis kritis menunjukkan bahwa otoritas mereka di era modern tidak dapat diterima tanpa mempertimbangkan konteks zaman dan kebutuhan akan interpretasi hukum yang relevan.

Dominasi fikih klasik, meskipun merupakan realitas historis dan sosiologis, menyulitkan pembentukan pandangan hukum Sunni yang kohesif terhadap isu-isu kontemporer dan menyoroti perlunya pengembangan metodologi ijtihad yang lebih adaptif dan responsif terhadap perubahan zaman, tanpa mengabaikan prinsip-prinsip fundamental ajaran Islam.

Masa depan hukum Islam Sunni akan ditentukan oleh kemampuan umat dan ulamanya dalam menyeimbangkan penghormatan terhadap tradisi klasik dengan kebutuhan untuk melakukan reinterpretasi yang kontekstual dan relevan.

Dalam tradisi Sunni, meskipun terdapat kesepakatan umum mengenai persyaratan mendasar seorang mujtahid (seperti penguasaan bahasa Arab, ilmu Al-Qur'an dan Hadis, ushul fikih, dan lain-lain), tidak ada mekanisme formal dan mengikat secara global untuk mengakreditasi atau mengesahkan seseorang sebagai mujtahid yang berhak mengeluarkan fatwa yang mengikat seluruh umat. Akibatnya, klaim ijtihad bisa datang dari berbagai kalangan dengan tingkat kompetensi yang beragam. Hal ini berpotensi menimbulkan ketidakjelasan mengenai otoritas keilmuan seseorang untuk berijtihad dan mengeluarkan fatwa yang layak diikuti. Meskipun lembaga-lembaga fatwa di tingkat nasional atau organisasi keagamaan memiliki pengaruh di lingkup masing-masing, tidak ada otoritas tunggal yang disepakati oleh seluruh umat Sunni secara global. Kondisi ini dapat menyebabkan fragmentasi fatwa dan kebingungan di kalangan umat dalam menghadapi isu-isu kontemporer.

Secara umum, ketiadaan kriteria baku dan mekanisme pengakuan mujtahid yang disepakati secara universal dalam Islam, terutama dalam tradisi Sunni, memang berpotensi menimbulkan ketidakjelasan kompetensi dan otoritas. Hal ini dapat mengurangi daya ikat fatwa bagi sebagian umat yang meragukan kapasitas individu atau lembaga yang mengeluarkannya. Umat mungkin lebih cenderung mengikuti fatwa dari ulama atau lembaga yang mereka percayai berdasarkan reputasi, kedekatan, atau kesamaan pandangan. Akibatnya, produk ijtihad atau fatwa, meskipun mungkin memiliki dasar-dasar keilmuan yang kuat, bisa kehilangan pengaruh mengikat secara luas karena persoalan legitimasi otoritas di mata sebagian umat.

Untuk mengatasi tantangan ini, upaya-upaya ke arah standarisasi kriteria mujtahid dan penguatan lembaga-lembaga fatwa yang kredibel dan diakui secara luas, baik di tingkat nasional maupun internasional, menjadi penting. Diskusi dan konsensus di antara para ulama mengenai kriteria dan mekanisme validasi kompetensi mujtahid dapat membantu meningkatkan kepercayaan umat terhadap produk ijtihad dan fatwa yang dikeluarkan.

http://t.me/ArsipChannel_Tulisan_ML