Prolog: Sebuah Konflik yang Tak Kunjung Usai

Perseteruan antara Amerika Serikat dan Iran telah menjadi salah satu konflik paling kompleks dan berkepanjangan dalam politik internasional abad ke-21. Sejak Revolusi Iran 1979 yang menggulingkan pemerintahan pro-Barat, hubungan kedua negara akibat sanksi ekonomi, intervensi politik dan ancaman militer. Ketegangan itu mencapai titik klimaks ketika AS di bawah Presiden Donald Trump secara sepihak menarik diri dari kesepakatan nuklir JCPOA tahun 2018. Namun belakangan ini, muncul tanda-tanda perubahan sikap dari kedua belah pihak.

Perubahan Sikap AS

Meskipun media ramai memberitakan rencana serangan AS dan Israel terhadap Iran, kedua negara justru terlibat dalam perundingan tidak langsung.

AS dan Iran memiliki posisi yang bertolak belakang mengenai program nuklir Iran. Trump menuntut Iran menghentikan program nuklirnya sebagai syarat pencabutan embargo dan pencairan aset yang dibekukan. Sedangkan Iran bersikukuh bahwa program nuklirnya bersifat sipil, bukan militer, dan didasari oleh prinsip keagamaan yang tidak dapat dikompromikan. Iran menegaskan bahwa pengembangan nuklir untuk tujuan sipil adalah "garis merah" bagi kedaulatan nasionalnya.

Faktor Pendorong Perubahan Sikap Trump

1. Pertimbangan Keamanan Global:
   - Jika Iran semakin dekat memiliki senjata nuklir (breakout time yang singkat), Trump mungkin memilih jalur diplomasi untuk menghindari konflik terbuka yang berisiko tinggi.
   - AS mungkin menawarkan insentif (misalnya pencabutan sanksi parsial) sebagai imbalan pembekuan program nuklir Iran.

2. Dinamika Aliansi Regional:
   - Jika Iran memperkuat kerja sama dengan China/Rusia (militer atau minyak), kebijakan maximum pressure AS menjadi kurang efektif, memaksa Trump bernegosiasi.
   - Rekonsiliasi Arab Saudi-Iran (seperti kesepakatan 2023 yang difasilitasi China) mengurangi alasan AS untuk mempertahankan kebijakan konfrontatif.

3. Kalkulasi Ekonomi dan Politik Domestik:
   - Mengurangi ketegangan dengan Iran dapat menstabilkan harga minyak dan perdagangan global, yang berdampak positif pada ekonomi AS.
   - Pencabutan sanksi minyak Iran berpotensi menurunkan harga BBM di AS, meningkatkan popularitas Trump di mata pemilih.
   - Tekanan dari Partai Demokrat atau faksi Republikan yang mendorong perdamaian mungkin memengaruhi kebijakan Trump.

4. Kegagalan Kebijakan Sebelumnya:
   - Strategi maximum pressure gagal menggulingkan pemerintahan Iran, sehingga Trump mungkin beralih ke pendekatan lebih realistis.
   - Trump mungkin ingin membangun legasi sebagai presiden yang berhasil menormalisasi hubungan AS-Iran.

5. Peran Mediasi Internasional:
   - Jika China atau Uni Eropa memediasi perundingan rahasia, Trump mungkin terbuka pada solusi kompromi.
   - Uni Eropa bisa mendorong AS kembali ke perundingan dengan modifikasi, yang bisa Trump manfaatkan untuk klaim keberhasilannya dalam diplomasi.

6. Faktor Teknologi dan Hukum:
   - Kemampuan drone atau cruise missile Iran yang lebih canggih mungkin memaksa AS memilih containment via diplomasi.
   - Trump mungkin menggunakan kebijakan luar negeri sebagai distraksi dari masalah hukum atau skandal domestik.
   - Pelonggaran sanksi bisa membuka peluang bisnis bagi lingkaran dalam Trump.

Prediksi ke Depan

- Skenario 1: Kesepakatan baru dengan syarat lebih ketat tetapi disertai insentif ekonomi.
- Skenario 2: Pelunakan sementara sebagai taktik, diikuti kembali ke maximum pressure jika Iran dianggap tidak kooperatif.
- Skenario 3: Kesepakatan terbatas (misalnya pertukaran tahanan atau pencairan aset) sebagai langkah awal normalisasi.

Mungkin perubahan sikap Trump didorong oleh kebutuhan pragmatis (pergeseran kekuatan global, ekonomi, dan dinamika regional) serta kalkulasi politik domestik. Namun, mengingat karakter "split personalitas" Trump yang tidak terduga, kebijakan ini dapat berbalik jika Iran dianggap tidak memberikan konsesi yang cukup.

Perubahan Sikap Iran

Selama bertahun-tahun, Pemimpin Tertinggi Iran Ayatullah Ali Khamenei secara konsisten menolak perundingan langsung dengan AS, terutama setelah mantan Presiden Donald Trump secara sepihak menarik AS dari kesepakatan pada 2018 dan memberlakukan sanksi ekonomi keras melalui kebijakan maximum pressure.

Iran berargumen bahwa:
- AS tidak dapat dipercaya karena telah melanggar komitmen internasional (JCPOA).
- Negosiasi langsung dianggap sebagai bentuk legitimasi terhadap tekanan AS.
- Sikap keras AS dianggap sebagai upaya regime change, bukan sekadar persoalan nuklir.

Meskipun retorika anti-AS tetap kuat, Iran dengan presiden Pezeshkian, akhirnya menunjukkan fleksibilitas dengan bersedia melakukan perundingan tidak langsung melalui mediator Oman. Beberapa faktor yang mungkin memengaruhi perubahan sikap ini:

1. Tekanan Ekonomi yang Semakin Berat
   - Sanksi AS telah melumpuhkan ekonomi Iran, termasuk devaluasi mata uang, inflasi tinggi, dan kesulitan ekspor minyak.
   - Meski Iran mencari alternatif (perdagangan dengan China/Rusia), dampak sanksi tetap signifikan.
   - Kebutuhan pencairan aset Iran yang dibekukan (misalnya dana $6 miliar di Korea Selatan) menjadi insentif untuk bernegosiasi.

2. Dinamika Politik Domestik
   - Pemerintahan Presiden Ebrahim Raisi (konservatif) awalnya bersikap keras terhadap AS, tetapi tekanan ekonomi telah memicu ketidakpuasan publik.
   - Protes sosial (seperti demonstrasi 2022-2023) menunjukkan bahwa rakyat menginginkan perbaikan ekonomi, yang sulit dicapai tanpa pelonggaran sanksi.
   - Jika pemerintah gagal mengatasi krisis, legitimasi rezim bisa semakin terancam.

3. Pergeseran Strategi Regional
   - Rekonsiliasi dengan Arab Saudi (2023) menunjukkan Iran bersedia berkompromi untuk mengurangi isolasi diplomatik.
   - Jika AS tidak lagi mendukung tekanan maksimum dari sekutu Teluk, Iran mungkin melihat peluang untuk negosiasi yang lebih seimbang.

4. Perubahan Sikap AS (Pelajaran dari Kegagalan Maximum Pressure)
   - AS menyadari bahwa sanksi ekstrem tidak menggulingkan rezim Iran, malah memperkuat perlawanan Tehran.
   - Trump (atau Biden) mungkin menawarkan insentif baru, seperti pencabutan sanksi parsial, yang sulit ditolak Iran.

5. Peran Mediator Oman
   - Oman memiliki hubungan baik dengan kedua pihak dan pernah memediasi pembebasan tahanan AS-Iran.
   - Negosiasi tidak langsung memungkinkan Iran menjaga prinsip "tidak berunding langsung dengan AS" sambil tetap mengejar kepentingannya.

Apa yang Ingin Iran Capai?
- Pencairan aset yang dibekukan untuk meredakan krisis likuiditas.
- Penghapusan sanksi minyak agar bisa mengekspor energi secara legal.
- Jaminan bahwa AS tidak akan kembali membatalkan kesepakatan (seperti JCPOA 2018).
- Pengakuan hak pengembangan nuklir sipil tanpa intervensi militer.

Tantangan ke Depan
- Kredibilitas AS: Iran khawatir kesepakatan baru akan kembali dilanggar jika Trump terpilih lagi.
- Oposisi dari Kubu Hardliner di Iran: Kelompok garis keras (seperti IRGC) mungkin menentang kompromi dengan AS.
- Isu Non-Nuklir (Misil, Drone, Dukungan ke Proksi): AS mungkin menuntut pembatasan program militer Iran, yang sulit diterima Tehran.

Kesimpulan

Perubahan sikap Iran tidak mencerminkan pelemahan prinsip, melainkan kalkulasi realistis akibat tekanan ekonomi, dinamika domestik, dan peluang diplomatik. Meski terbuka untuk negosiasi, Tehran tetap berhati-hati agar tidak terlihat "menyerah" kepada AS. Jika AS menawarkan insentif nyata (bukan sekadar retorika), kemajuan kecil mungkin tercapai—tetapi jalan menuju normalisasi masih panjang dan berliku.

Alternatif Skenario:

1. Kesepakatan Terbatas: Pencairan dana Iran sebagai imbalan pembekuan pengayaan uranium 60%.
2. Kembali ke JCPOA dengan Modifikasi: AS dan Iran sepakat versi baru dengan mekanisme penegakan lebih kuat.
3. Kegagalan & Kembali ke Ketegangan: Jika AS atau Iran terlalu banyak menuntut, perundingan bisa kembali buntu.

Dengan kata lain, Iran tidak lagi memegang prinsip "no talk with the US" secara absolut, tetapi negosiasi tetap dilakukan dengan syarat-syarat yang ketat untuk melindungi kepentingan nasionalnya.

Epilog: Jalan Panjang Menuju Normalisasi

Dinamika hubungan AS-Iran ibarat pendulum yang terus bergerak antara ketegangan dan diplomasi. Perubahan sikap terbaru dari kedua belah pihak, meski tampak menjanjikan, masih menyisakan banyak tanda tanya besar. Bagi AS, tantangannya adalah menciptakan kerangka kesepakatan yang bisa bertahan melampaui perubahan administrasi presiden. Sementara bagi Iran, negosiasi dengan "Setan Besar" tetaplah jalan berbahaya yang penuh risiko politik domestik.

Kedua negara kini berada di persimpangan jalan: melanjutkan konfrontasi yang  berdampak secara nasional, regional dan global atau mencari terobosan diplomatik yang membutuhkan kompromi tidak mudah.

Di atas semua itu, AS dan Iran tidak akan bersepakat tentang Istael. Bagi AS, mempertahankan eksistensi bahkan keunggulan Istael di atas tanah Palestina merupakan bagian dari strategi kepentingannya dalam mengendalikan dunia Islam. Bagi Iran, menolak eksistensi Istael (tidak menerima solusi dua negara) dan mendukung perlawanan bersenjata merupakan komitmen teologis, ideologis dan konstitusional.

Pertanyaannya, apakah AS kali ini tidak menyertakan keamanan Istael dan perluasan teritorinyanya sebagai konsederasi dalam perundingan? Mungkin kita perlu tanya kepada rambut Trump yang bergoyang.

*) Hasil elaborasi dan kompilasi dari beberapa sumber

http://t.me/ArsipChannel_Tulisan_ML