Dua dekade silam, di ujung trotoar (antara Kalibata dan Raya Pasar Minggu) ini, sebuah simfoni sunyi pernah mengalun. Bukan kilau etalase kristal atau sorot neon yang memikat, melainkan pesona seng dan kayu yang menenun mimpi. Warung-warung tradisional, bagai penjaga gerbang ke alam khayal anak-anak, memamerkan truk dam dan bus-mini yang berbaris perkasa, menangkap sinar senja dalam sapuan cat sederhana.
Bocah-bocah, dengan mata berbinar dan rengekan penuh harap, menarik tangan ibu mereka, memohon mainan yang menjadi kunci petualangan imajiner. Setiap lengkung seng, setiap goresan kuas, adalah bait tentang ketabahan—tangan-tangan yang merajut impian kecil dengan cinta, menenun warisan dalam helaian kesederhanaan. Mereka adalah permata zaman yang kini telah retak, terkubur di bawah reruntuhan modernitas yang tak kenal iba.
Waktu, laksana arus yang menggilas tanpa belas, terus mengalir, menghanyutkan apa yang pernah kita junjung. Kini, setelah dua puluh tahun, hanya satu warung yang bertahan—satu-satunya penutur bisu dari orkestra yang telah meredup. Ia berdiri di sana, lapuk namun teguh, bagai mercusuar sunyi yang menatap kosong jejak-jejak yang sirna. Ironi ini menampar dinding nurani yang kian lunglai di tengah gemuruh modernitas, di antara menara kaca dan baja yang mencakar langit, keaslian itu kini terasing, bagai pengembara yang tersesat di tanah kelahirannya. Warung terakhir ini bukan sekadar bangunan; ia adalah elegi untuk era yang telah dirampas, sebuah seruan pedih bahwa dalam laju zaman yang rakus, yang bernilai justru yang pertama dipangkas.
Truk dam yang dulu berderet bagai legiun siap bertempur kini hanya bayang-bayang dalam nostalgia. Bus-bus mini, pengantar mimpi-mimpi kecil ke petualangan imajiner, kini hanya bergema di lorong kenangan. Mereka tak tumbang karena kalah harga, bukan. Mereka tersapu oleh gelombang perubahan yang buta, arus lupa yang menggerus tradisi tanpa ampun.
Di zaman yang memuja layar dingin dan kilau semu, warung terakhir itu bukan sekadar pedagang mainan—ia adalah penjaga sajak. Sajak tentang nilai-nilai yang memudar, tentang seni tangan yang terlupakan, tentang kehangatan kebersamaan yang terkubur di bawah sepi digital. Ia adalah cermin yang memantulkan wajah kita—wajah sebuah bangsa yang kehilangan denyut jiwanya di tengah deru kemajuan.
Zaman ini telah menjelma menjadi arena yang bengis, tak lagi menyapa yang tulus. Ia adalah gelanggang di mana yang otentik dihantam oleh yang instan, di mana warisan ditukar dengan algoritma.
Di bahu trotoar ini, di tengah dunia yang semakin asing, dangau terakhir itu berdiri tegak melawan rezim aplikasi dan platform kepalsuan.
http://t.me/ArsipChannel_Tulisan_ML