Di antara debu-debu yang berterbangan setelah ledakan, di balik retakan dinding rumah-rumah yang hancur, dan di tengah gurun yang gersang yang dihiasi reruntuhan, ada sebuah bangsa yang berdiri tegak.

Yaman—tanah yang dulu dikenal sebagai "Arabia Felix" (Arab yang Bahagia)—kini menjadi saksi bisu kebiadaban Poros Hegemoni. Setiap hari, langitnya dirobek oleh pesawat-pesawat tempur koalisi pimpinan Arab Saudi dan UEA, didukung oleh senjata dari AS dan Inggris. Setiap malam, rakyatnya menggenggam roti kering dan air keruh, sambil memandang bintang-bintang yang sama yang menyaksikan leluhur mereka berdagang rempah dan membangun peradaban.

Tapi di sini, di tanah yang dilanda kelaparan, kolera, dan blokade, ketangguhan bukan sekadar kata. Ia adalah nafas yang bertahan di tengah paru-paru yang sesak. Anak-anak kecil berlari di antara reruntuhan, mengumpulkan potongan kayu untuk api unggun. Mereka miskin, terisolasi, dan terluka—tapi tidak pernah menyerah.

Ketika dunia diam melihat Palestina dijajah, Yaman yang tercekik justru mengangkat suara. Di tengah puing-paruangan Sana'a, bendera Palestina dikibarkan di setiap demonstrasi. Para pemuda Yaman, yang rata-rata tubuhnya karena terbiasa lapar dan kerja keras, berteriak lantang: "Dari Yaman ke Gaza—kalian tidak sendirian!". Mereka tahu apa artinya dijajah, dikepung, dan dihancurkan. Solidaritas mereka bukan retorika kosong, melainkan darah yang mengalir dari luka yang sama.

Blokade telah memutus akses obat-obatan, bahan bakar, dan makanan. Tapi blokade tak pernah berhasil memutus tekad. Di pelabuhan Al-Hudaydah yang hancur, nelayan tetap melaut dengan perahu kayu reyot, mempertaruhkan nyawa demi sesuap nasi. Di pegunungan Taiz, petani menanam biji-bijian di tanah yang terkontaminasi peluru. Di sekolah-sekolah bawah tanah, guru-guru mengajar anak-anak bahwa "perlawanan adalah pelajaran pertama dalam sejarah kita".

Mereka dikeroyok oleh kekuatan global, dihina sebagai "pemberontak", dan diasingkan oleh media arus utama. Tapi di balik semua itu, ada kebanggaan yang tak bisa dibeli oleh dolar atau dihancurkan oleh bom: kedaulatan. Yaman menolak tunduk pada rezim boneka, menolak menjual tanahnya untuk kepentingan asing, dan menolak diam saat saudara-saudaranya di Palestina dibantai.

Mungkin dunia melihat mereka sebagai bangsa miskin di antara negara-negara mewah di Teluk, tapi Yaman adalah pejuang. Setiap nyawa yang gugur di Sa'da atau Ma'rib adalah seruan bahwa kemerdekaan tak bisa dikubur. Setiap karung gandum yang diselundupkan melalui jalan tikus adalah bukti bahwa harapan tak bisa dikungkung. Dan setiap bendera Palestina yang berkibar di tengah reruntuhan adalah tamparan bagi kekuatan yang mengira blokade akan membungkam suara kebenaran.

Yaman mengajarkan kepada kita: kemiskinan bukan halangan untuk bermartabat, isolasi bukan alasan untuk berhenti bersuara, dan ketidakadilan global harus dilawan—bahkan jika hanya dengan segenggam pasir dan hati yang berani. Kemiskinan justru membebaskan mereka dari dosa ketakpedulian, keserakahan dan kesombongan. Dengan segala deritanya, para pejuang bersarung buatan Pekalongan selalu punya cara mengungkapkan kegembiraan dengan menari zafin sambil memanggul klashnikov.

Di situlah cahaya itu tetap menyala—di tengah kegelapan yang dipaksakan oleh raja-raja minyak dan kekaisaran senjata. Yaman mungkin miskin, tapi tak pernah miskin harga diri. Palestina mungkin jauh, tapi tak pernah asing di hati mereka.

Dan selama ketangguhan ini berdenyut, dunia harus ingat: "Batu karang tak akan hancur oleh ombak—ia hanya mengikis sang waktu. "Ini Yaman, induk peradaban dunia. Huna Yaman!"