Isu "ijazah palsu" Jokowi sempat jadi perbincangan hangat di tengah dinamika politik Indonesia. Semua bermula dari adanya ketidaklengkapan dokumen administrasi di Universitas Gadjah Mada (UGM) pada era 80-an. Meski UGM sudah menegaskan bahwa Jokowi adalah alumni sah Fakultas Kehutanan tahun 1985 dan belum ada putusan hukum yang membuktikan pemalsuan, spekulasi tetap berkembang, terutama menjelang Pemilu 2024.

Konteksnya, isu ini muncul di tengah kondisi kepercayaan publik yang memang sedang diuji. Sejarah isu korupsi dan kurangnya transparansi di masa lalu membuat beberapa kalangan mudah curiga. Ditambah lagi, di era digital ini, informasi yang kurang lengkap bisa cepat menyebar dan memicu interpretasi yang beragam. Media sosial, dengan algoritmanya yang cenderung menampilkan konten sensasional, jadi arena di mana klaim-klaim yang belum terverifikasi ikut meramaikan suasana.

Yang menarik, isu ini tetap relevan bahkan setelah Jokowi selesai menjabat. Perannya dalam kemenangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka membuat isu ini punya dimensi politik yang lebih luas. Ada yang melihat ini sebagai simbol ketidaktransparan yang perlu diwaspadai di pemerintahan baru. Ada juga yang melihat ini sebagai bagian dari dinamika politik untuk membatasi pengaruh mantan presiden.

Dari sini, kita bisa lihat beberapa poin penting. Pertama, betapa rapuhnya kepercayaan publik jika transparansi tidak dijaga. UGM, sebagai institusi pendidikan ternama, pun sempat jadi sorotan karena sistem arsipnya yang belum sepenuhnya digital. Kedua, demokrasi digital punya dampak ganda. Di satu sisi, memungkinkan partisipasi publik yang luas, tapi di sisi lain, jadi tempat subur bagi informasi yang belum tentu benar. Dampaknya, masyarakat terpolarisasi, tidak hanya soal pilihan politik, tapi juga soal interpretasi fakta.

Setelah Pemilu 2024, isu ini masih jadi perdebatan. Sebagian pihak yang memperdebakannya tidak dipengaruhi oleh afiliasi politik pro maupun kontra Jokowi dan Prabowo tapi semata-mata karena keinginan memperoleh kejelasan dan kejujuran. Pemerintah baru diharapkan bisa membuktikan komitmennya terhadap transparansi. Masyarakat pun masih bertanya-tanya, apakah penjelasan resmi sudah cukup, atau masih ada ruang untuk keraguan.

Pada akhirnya, isu ijazah Jokowi bukan sekadar soal dokumen. Ini adalah refleksi bagaimana informasi dan kepercayaan publik bekerja di era digital. Ini juga jadi pengingat bahwa membangun kepercayaan itu butuh proses yang panjang. Pertanyaan besarnya, bagaimana kita bisa membangun sistem yang lebih transparan dan akuntabel, agar isu serupa tidak terulang di masa depan?

http://t.me/ArsipChannel_Tulisan_ML