Imam Ali ibn Abi Thalib (saw) bercerita:
Suatu saat aku berjalan bersama Rasulullah SAW menyusuri beberapa lorong Madinah lalu kami melintasi sebuah taman.
Wahai Rasulullah, betapa indah taman ini, kataku.
Nabi SAW berkata: "Taman yang sangat indah. Tamanmu di sorga lebih indah dari taman ini.”
Kami berdua melanjutkan perjalanan hingga melintasi sebuah taman lagi.
Kukatakan, “sungguh indah taman ini.”
Nabi SAW berkata, “Taman yang sangat indah. Tamanmu di sorga lebih indah dari taman ini.”
Aku melintasi tujuh taman dan aku mengulang ungkapan kekaguman setiap kali melintasinya. Nabi pun menanggapi dengan perkataan yang sama.
Saat tak melihat taman lagi, tiba-tiba angkasa menggulita. Nabi mendekap Ali. Tubuhnya gemetar. Air mata jatuh membasahi jubahnya yang sederhana. Nabi mendekapku seraya menangis.
“Wahai Utusan Tuhan, apa yang membuatmu menangis?” tanyaku.
"Tumpukan dendam dari perang Badr dan Uhud yang tersimpan lama dalam hati orang-orang itu kepadamu akan diperlihatkan setelah wafatku,”
“Wahai Ali, aku menangis karena seolah aku sedang melihat peristiwa yang akan menimpamu kelak pada bulan seperti ini ketika pendurhaka terburuk mengayunkan pedang ke tubuhmu hingga jenggotmu memerah.
Aku melihat pedang terkutuk mengoyak kulit kepalamu di bulan Ramadhan… Darahmu akan mewarnai jenggotmu seperti onta Nabi Saleh yang dikorbankan.”
Ali terdiam, lalu bertanya dengan keteguhan khasnya: "Wahai Rasulullah, apakah ini demi keselamatan agama?”
"Tentu. Ali,”* jawab Nabi dengan suara bergetar. “Membunuhmu adalah membunuhku. Membencimu berarti membenciku, dan mencacimu berarti mencaciku, karena kamu adalah diriku, jiwamu dari jiwaku, dan bahan bakumu dari bahan bakuku. Allah telah menciptakanku bersamamu. Dia memilihku dengan memberiku nubuwah dan memberimu imamah. Yang menolak imamahmu berarti menolak nubuwahku.
Hai Ali, kamu adalah pemegang wasiatku, ayah cucuku dan suami putriku dan pelanjutku bagi umatku saat aku hidup dan setelah kematianku. Perintahmu adalah perintahku dan laranganmu adalah laranganku. Aku bersumpah demi Dia yang mengutusku dengan nubuwah, Dia menjadikanku sebagai makhluk terbaik, dan bahwa kamu bukti Allah untuk ciptaan-Nya dan pemegang penyimpan rahasianya dan pelanjut kepemimpinannya atas hamba-hamba-Nya."
“Hai Ali, bagaimana sikapmu bila kamu dikucilkan oleh masyarakat hingga seruanmu diabaikan dan nasihatmu tentang agama diacuhkan, para pengikutmu meningglkanmu, bahkan mereka yang semula bersamamu lebih jahat dari orang-orang yang memusuhimu. Mereka akan berdiri menentang dan menghadangmu dan mengharapkan kematianmu karena kamu melaksanakan tugas meneagakkan agama."
"Mereka merasa dirugikan karena kamu menghalangi mereka memenuhi dahaga keserakahan menumpuk harta dunia dan setiap saat menanti kesempatan menumpahkan dendam kesumat karena banyak anggota keluarganya menjadi korban pedangmu dengan rencana jahat membunuhmu atau menimpakan derita atasmu dan melemparkan aneka cacian seperti yang dilemparkan kepadaku, tukang tenung, penyihir, pendusta, pembual?"
"Bila itu terjadi, bersabarlah karena kamu adalah teladan."